Bayah hanyalah salah satu saja dari medan pertempuran yang harus ia hadapi di mana ia mengalami kekalahan. Tetapi tugas besarnya untuk memenangkan peperangan, yaitu mencapai Indonesia merdeka telah tercapai. Memang ada penyesalan di Bayah, dan Bung Karno berharap sejarahlah yang akan membersihkan namanya.
“Kapan Indonesia merdeka?”
Sebuah pertanyaan tak terduga menyeruak di tengah dialog antara Bung Karno dengan para pekerja paksa, Romusha di Bayah Banten Selatan. Hari itu, September 1944, Bung Karno datang dengan sejumlah pejabat militer dan wartawan untuk memberi semangat kepada para pekerja yang ia sebut sebagai pahlawan ekonomi.
Puluhan ribu orang digiring ke dusun kecil itu untuk membangun jalan kereta api Saketi-Pandeglang hingga tambang batu bara di Bayah sejauh 89 km. Ia mematut dirinya ala pekerja lapangan, mengenakan caping di kepala dan cangkul di tangan.
Para wartawan mengambil posenya yang bergaya ikut memikul batu dan karung pasir. Si Bung yang oleh Herbert Feith dijuluki solidarity maker karena kepiawaiannya meggerakkan semangat massa, seperti biasa menyampaikan pidato berapi-api mengenai Indonesia merdeka yang akan diberikan oleh Jepang.
Karenanya, untuk mempercepat tibanya hari kemerdekaan itu, bangsa Indonesia harus menunjukkan rasa terima kasih kepada penjajah baru itu, dengan menjadi romusha. Ia memang tengah menjadi bintang iklan yang mempromosikan mulianya menjadi seorang romusha.
Bung Karno bukannya tidak sadar bahwa puluhan ribu pemuda yang ia rekrut menjadi romusha sebenarnya tengah menuju kematian tragis di bawah kamp kerja paksa. Maka, ketika pertanyaan tentang ‘kapan Indonesia merdeka’ terlontar dari tengah pekerja kelas rendahan itu, Bung Karno menjawab dengan enteng, menunggu pemberian dari Dai Nippon.
Jawaban yang tampaknya tak memuaskan penanya. Menurutnya, kemerdekaan itu harus direbut oleh bangsa Indonesia sendiri tanpa harus membungkuk pada Jepang.
Bung Karno yang konon dalam orasinya tak biasa didebat, apalagi dari seseorang biasa di dusun terpencil pula yang hanya akrab dengan kelaparan dan penyakit malaria, agak terperangah. Ia mencoba mengenali penanya yang ngotot itu, seorang lelaki berperawakan kecil, pekerja tambang bernama Iljas Hussein.
Ia tidak tahu, lelaki bertopi onderneming itu adalah Tan Malaka, tokoh yang buku-bukunya seperti Naar de Repoebliek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) yang terbit pada 1925 mengilhami perjuangan Bung Karno melawan kolonial Belanda. Buku Tan Malaka lainnya yang ia lahap habis dan menjadi pegangan para penggerak kemerdekaan adalah ‘Aksi Massa’ yang terbit pada 1926.
Pertemuan dua tokoh bangsa itu merupakan kebetulan belaka. Tan yang baru selesai dari pembuangan 20 tahun di luar negeri, kembali ke Indonesia pada 1942.
Ia tak hanya butuh pekerjaan tapi juga tempat persembunyian yang aman dari incaran tentara Dai Nippon. Keahliannya menyamar, membuat Tan berhasil diterima bekerja di tambang batu bara Bayah pada 1943. Ia ditunjuk menjadi mandor buruh dan juru tulis yang mencatat daftar para romusha,
Pertemuan tak diduga di Bayah itu berbekas bagi keduanya. Seperti ditulis Harry A Poeze dalam “Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia (2018)”, Tan mengakui rasa senangnya bisa bertemu dan berdialog dengan Bung Karno. Hal serupa diakui Bung Karno yang dapat bertemu dengan tokoh yang sejak lama ia idolakan.
Ketika keduanya kembali bertemu pada 9 September 1945, Bung Karno yang kala itu sudah Presiden mendapatkan berbagai strategi dalam mempertahankan Indonesia. Tan menurutnya sangat layak menggantikan posisinya sebagai pemimpin revolusi Indonesia. Pesan itu, belakangan dinyatakannya secara tertulis, sebagai sebuah wasiat politik.
Bayangan tentang Bayah tetap menghantuinya, titik hitam sejarah bangsa Indonesia dan penyesalan yang akan ia bawa hingga akhir hayat. Namun ia berupaya menghibur diri bahwa dalam proses perjalanan bangsa yang lebih besar,