Dualisme kronis antara Pemko dan BP Batam dipangkas melalui beleid Istana. Kewenangan itu kini terpusat di tangan Walikota. Apa yang bisa dilakukan dengan pertumbuhan ekonomi 2%? Diusulkan jadi kawasan wisata khusus kasino internasional dan pusat belanja bebas pajak tanpa razia.
HARI-HARI ini, ke mana pun bepergian, anda niscaya menyaksikan kebanyakan bangunan kotak-kotak. Dua tingkat atau lebih. Konsep dasarnya ruko, rumah toko. Di lantai atas tempat tinggal (rumah), di lantai bawah tempat berniaga (toko). Batam, kota-pulau yang dikembangkan sejak tahun 1970-an, pernah dijuluki Kota Seribu Ruko. Wajar jika Batam disebut sebagai inspirator di balik bermunculannya kota-kota ruko di Nusantara.
Mulanya dikembangkan sebagai basis logistik dan operasional untuk industri minyak dan gas bumi oleh Pertamina. Selanjutnya ditangani lembaga pemerintah yang bernama Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam atau Otorita Batam. Di masa-masa awal, Otorita ini dipimpin nama-nama besar: Dr. Ibnu Sutowo, Prof. Dr. J.B. Sumarlin, dan Prof. Dr. BJ Habibie. Ide besarnya, adu kompetitif dengan Singapura.
Tahun 1978, seluruh wilayah Pulau Batam ditetapkan sebagai wilayah Bonded Warehouse (kawasan berikat). Pada 1984, semua wilayah Pulau Batam ditambah pulau-pulau Janda Berias, Tanjung Sauh, Ngenang, Kasem dan Moi-Moi menjadi Bonded Area. Wilayah kerja Otorita Batam diperluas meliputi wilayah Barelang (Pulau Batam, Rempang, Galang dan pulau-pulau sekitarnya pada 1992. Total luas wilayah menjadi 715 km², setara dengan 115% Singapura.
Kota Administratif Batam berubah menjadi Daerah Otonom Kota Batam pada tahun 2000. Sejak 2007, nama Otorita menjadi Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam atau disingkat BP Batam. Tanggal 12 Desember 2018, Presiden memerintahkan pemangkasan dualisme kepemimpinan, dengan dengan mengalihkan kewenangan yang selama ini melekat pada Badan Pengusahaan (BP) Batam kepada Pemerintah Kota Batam.
BP Batam selama ini memperoleh kewenangan dari pemerintah pusat, khususnya yang menjadi kewenangan Kementerian Perdagangan, untuk mengeluarkan perizinan lalu lintas keluar masuk barang. Di antaranya Perizinan IP plastik dan scrap plastik, IT-PT, IT cakram, IT alat pertanian, IT garam, impor mesin fotokopi dan printer berwarna, pemasukan barang modal bukan baru, bongkar muat pelabuhan khusus, dan perizinan pelepasan kapal laut.
MELEMAHNYA perekonomian di Batam beberapa tahun terakhir menjadi pukulan berat bagi industri manufaktur, galangan kapal/shipyard, oil & gas; yang merupakan primadona Batam selama ini. Mati surinya perusahaan shipyard diikuti oleh perusahaan bidang maunfaktur, elektronik, properti, pariwisata dan lainnya. Para pekerja mengungsi ke Jawa atau sentra industri lain. Batam pun mulai lengang.
Selain populasi berkurang, daya beli masyarakat juga tergerus. Pertumbuhan ekonomi Batam hanya 2% tahun 2017, tak sampai separuh pertumbuhan ekonomi nasional yang 5,2%, berbanding lurus dengan lesunya investasi. Gejalanya mulai terbaca sejak ‘pertarungan’ hebat antara Pemko Batam dengan gong otorita dan BP Batam (dari Otorita Batam) dengan gong FTZ, Free Trade Zone selama belasan tahun. Kehancuran ninvestasi Batam ini telah diprediksi pendiri Batam FTZ (Free Trade Zona), Alex Alopsen, jauh-jauh hari berselang.
“Tidak ada kapal yang sampai tujuan dengan sukses kalau nahkodanya lebih dari satu. Investor tidak tertarik investasi kalau berurusan dengan dua institusi untuk satu urusan. Untuk kebaikan di masa depan, Batam harus ‘menghilangkan’ ambiguitas aturan yang diciptakan oleh DPR RI dan Pemerintah Pusat,” tutur Alex Alopsen. Batam pertama-tama harus mampu keluar dari persoalan ego sektoral dengan kebijakan politik yang berkepastian hukum.
Kelesuan ekonomi Batam di pengaruhi lesunya ekonomi global, turunnya harga minyak dunia, larangan ekspor bahan mentah sektor minerba, tidak konkreitnya kepastian hukum, dan ego sektoral antarkekuasaan. Lesunya ekonomi global di pengaruhi oleh proteksi keras kebijakan ekonomi pemerintah AS. Cina gencar dengan mazhab Turnkey Project yang tak bermanfaat bagi negara-negara sasaran.
Kondisi itu diperparah dengan larangan ekspor minerba (mineral dan batubara) tanpa pengolahan. Lesunya minerba dan minyak merupakan salah satu penyebab hancurnya industri perkapalan di Batam, karena hampir tidak adanya pesanan kapal dari beberapa perusahan minyak dan pengekspor batu bara, nikel, bauksit dan bahan tambang lainnya.
Tingginya sewa lahan di Batam mengurangi daya saing dalam menarik investasi. Sebaliknya, Vetnam, Filipina dan Thailand memberi fasilitas lahan gratis. Diperparah oleh para pemegang kekuasaan: pemerintah pusat dan daerah, pengelola FTZ Batam, penjaga keamanan dan ketertiban, dan bea cukai, yang pada praktiknya tidak memiliki visi yang sama menjadikan Batam surga investasi. Batam saat ini berada pada bayang-bayang kiamat,” tutur Abdul Rahman.
“Solusi yang lebih praktis adalah dibentuk kawasan wisata khusus berupa kasino bertaraf internasional dan pusat belanja bebas pajak, yang bebas dari razia,” tutur Abdul Rahman, pengusaha. Batam sebagai daerah maritim dan jalur perdagangan Asia Pasifik kiranya ideal dibentuk sebagai daerah wisata dan kepelabuhanan bertaraf internasional (baik persinggahan kapal pesiar maupun bongkar muat), dan industri.●(dd)