Nama Barus sudah lama muncul apabila diterima pendapat bahwa “Barousai” adalah Barus
DALAM banyak literatur klasik disebutkan, agama Islam di Indonesia pertama kali hadir di Barus. Bukti otentiknya, keberadaan makam Islami. Di sana terdapat kompleks makam para auliya dan ulama penyebar Islam di Indonesia masa silam. Di antaranya Makam Papan Tinggi, Mahligai, Syekh Mahdun, Syekh Ibrahim Syah, Tuan Ambar, Tuan Syekh Badan Batu. Di kompleks makam Mahligai, batu nisan tertulis: Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 M/48 H. Itu membuktikan eksistensi komunitas Muslim saat itu.
Posisi geografis Barus, dengan nama lain: Fansur, yang di pesisir Barat Pulau Sumatera dan berhadapan langsung dengan Samudera Hindia membuatnya sejak awal dikenal oleh dunia sebagai tempat singgah. Sekaligus menjadi pintu masuknya Islam di Indonesia—jauh lebih tua dari sejarah Wali Songo, penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-14.
Barus jadi tempat singgah strategis bagi para saudagar dari Arab, Yordan, Yaman, Persia yang banyak melakukan pelayaran ke daerah ini untuk kepentingan bisnis rempah-rempah dan pembelian kapur barus, komoditas primadona dan paling dicari kala itu. Bukan kebetulan jika masa ini bertepatan waktunya dengan era kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Saat itu banyak utusan Khalifah dan saudagar Arab, terutama dari Yaman, ditugasi memakmurkan syiar ke wilayah Asia.
Berkat hasil hutannya, kamper, kemenyan dan emas, Barus menjadi kota yang kerap dikunjungi banyak para saudagar di seluruh dunia. Kamper berasal dari getah tanaman pohon kapur yang hanya tumbuh di wilayah Indonesia. Tepatnya, hanya di Barus itulah. Tak ayal, Barus pun tumbuh menjadi imperium dan pusat peradaban pada abad pertama hingga abad ke-7.
Sejumla pertanyaaan muncul terkait dengan sejarah kuno Kota Barus. Misalnya, kapan kota ini didirikan; di mana lokasi persis Barus yang disebut dalam beberapa sumber awal. Namun, pada tahun 1995 di Desa Lobu Tua, daerah sekitar Barus, terpampang sebuah spanduk bertuliskan “Dirgahayu ke-50 negaraku dan Dirgahayu ke-5.000 desaku”. Agak bombastis angka 5.000 itu, maklum, namanya juga spanduk bukan?
Sejak abad ke-6 Masehi, kamper sudah dikenal di berbagai kawasan mulai dari negeri Tiongkok hingga ke kawasan Laut Tengah. Nama Barus sudah lama muncul apabila diterima pendapat bahwa “Barousai” adalah Barus. Nama ini juga tercatat dalah sejarah Dinasti Liang, Raja Tiongkok Selatan yang memerintah pada abad ke-6.
Claude Guillot memaparkan bukti-bukti bahwa sejak abad ke 6 Masehi Barus sudah menjadi kawasan niaga yang ramai. Pada akhir abad ke 7 atau abad pertama Hijriah, para pedagang Arab mulai menjejakkan kakinya di pelabuhan Barus. Nama Barus kian tersohor hingga ke Eropa dan Timur Tengah. Masuknya Islam ke Nusantara diyakini melalui jalur perdagangan Barus ini. Jalur ini populer dikenal dengan sebutan jalur rempah-rempah.
Barus berjarak 290 km dari Kota Medan, sekitar 7 jam perjalanan darat. Atau 2 jam berkendara dari Kota Sibolga. Barus adalah salah satu tempat yang sangat berperan dalam awal peradaban masuknya budaya Batak, lahirnya agama Batak Parmalim, masuknya agama Kristen, masuknya Agama Islam hingga perbauran Budaya Melayu. Sayangnya, hal itu tidak banyak yang tahu. Secara de facto, Barus kini hanya sebuah wilayah tertinggal dan terpencil di pesisir Tapanuli Tengah.(dd)