hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Berita  

Banyak Terjadi Keracunan, MBG Dikelola Sekolah Saja!

Program Makan Bergizi Gratis. Foto: infopublik

PeluangNews, Jakarta – Maraknya kasus keracunan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) akhirnya membuka mata DPR. Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Charles Honoris mengusulkan pengelolaan MBG dialihkan ke sekolah.

Usulan ini bukan sekadar reaksi. Ini sinyal kuat bahwa sistem dapur umum yang dijalankan Badan Gizi Nasional (BGN) telah gagal. Sudah saatnya beralih ke dapur sekolah. Solusi yang lebih aman, efisien, dan dekat dengan rakyat.

Anggaran MBG 2025 awalnya Rp71 triliun. Jumlah itu digunakan untuk menyasar 17,9 juta penerima. Tapi praktiknya membengkak jadi Rp171 triliun dengan jumlah penerima naik jadi 82,9 juta orang.

Untuk 2026, Menteri Keuangan Sri Mulyani memproyeksikan lonjakan hingga Rp300 triliun. Dia bahkan memperkirakan bisa tembus Rp335 triliun. Artinya, menyerap sekitar 44,2% anggaran pendidikan.

Kenaikan anggaran hingga 75-96% dari 2025 ini menunjukkan ambisi besar dan niat mulia Presiden Prabowo Subianto. Di sisi lain sekaligus juga risiko besar jika sistem tak diperbaiki. Anggaran raksasa ini bakal sia-sia kalau makanan yang sampai ke anak-anak justru membahayakan kesehatan, bahkan nyawa mereka.

Sistem dapur umum via Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) adalah biang masalah. Produksi massal 3.000 paket makanan setiap hari sulit diawasi. Distribusi jarak jauh memperpanjang risiko basi. Kasus keracunan di Sragen, yang melibatkan 251 siswa, guru, hingga orangtua, jadi bukti nyata. SPPG tak siap. Mereka kewalahan mengelola skala besar, apalagi tanpa regulasi ketat. BGN mungkin punya niat baik, tapi eksekusinya di lapangan buruk.

Dapur Sekolah Jadi Solusi

Dapur sekolah adalah jawaban. Pertama, dekat dengan siswa. Makanan lebih segar, disajikan hangat, dan langsung disantap. Kedua, efisien. Menghilangkan rantai pasok panjang, mengurangi biaya kemasan, dan meminimalkan limbah. Ketiga, melibatkan komunitas lokal, orangtua, petani, pedagang pasar (tradisional). Dampaknya, perputaran ekonomi daerah hidup. Keempat, pengawasan ketat lebih mudah. Sekolah bisa terapkan SOP kebersihan, didukung dinas kesehatan dan pemerintah daerah. Kelima, fleksibel. Menu berbasis bahan lokal sesuai budaya, mengurangi risiko alergi, dan mendukung ketahanan pangan.

Satu hal, sistem penyajian dengan menggunakan wadah (food tray/ompreng) menyimpan banyak kelemahan. Pertama, ada jeda waktu yang panjang, bisa sampai 8 jam, dari mulai penempatan hingga disantap. Ini berisiko basi, bahkan jadi beracun.

Kedua, food tray/ompreng membutuhkan biaya besar. Di market place, harganya bisa Rp55.000/unit. Bayangkan, tiap SPPG dengan kapasitas 3.000 porsi, mereka harus merogoh kocek sekitar Rp165.000 juta hanya untuk ompreng. Inilah yang menyebabkan rakyat bawah tak bisa dilibatkan dalam program MBG. Dari mana mereka punya Rp165 juta? Apalagi itu hanya untuk food tray. Belum biaya pembangunan dapur umum, perlengkapan masak, belanja bahan baku, tukang masak, dan lainnya…

Model buffet seperti di Jepang, mungkin bisa jadi solusi. Sederhana dan bisa diterapkan. Siswa dilibatkan, ajarkan disiplin dan tanggung jawab. Siapkan petugas yang menyendokkan nasi dan lauknya ke masing-masing piring siswa supaya tidak ada yang mengambil berlebihan.

DPR sudah memberi lampu hijau. Ini momentum. Sejatinya sistem dapur sekolah bukan cuma solusi teknis, tapi langkah strategis. Anak-anak dapat gizi optimal, prestasi belajar naik, stunting turun. Ekonomi lokal terdongkrak. Anggaran Rp300 triliun lebih di 2026 harus jadi berkah. Tak boleh jadi bencana baru.

Pemerintah harus bergerak cepat. Latih sekolah, alokasi dana ulang, buat regulasi kuat. Jangan biarkan birokrasi lamban jadi penghambat. Kasus keracunan di Sragen harus jadi pelajaran terakhir. Sudah terlalu banyak korban. Sudah terlalu buruk image yang berkembang. Bukan rahasia, ada sejumlah orangtua siswa yang melarang anaknya makan jatah MBG.

Tantangan tentu saja ada. Antara lain, sekolah butuh dapur memadai. Juga diperlukan pelatihan dan koordinasi lintas sektor. Tapi, manfaatnya jauh lebih besar. Anak sehat, orang tua tenang, masyarakat terlibat. Perputaran ekonomi warga sekitar sekolah menggeliat.

MBG bukan sekadar makan gratis. Ini investasi generasi emas 2045. Pemerintah harus mau mendengar masukan, terlebih yang datang dari rakyat. Dapur sekolah adalah masa depan MBG. Masa depan anak-anak Indonesia. Ini bisa jadi bagian anak tangga menuju Indonesia Emas pada 2045. Waktunya bertindak. Sekarang! []

[Penulis: Edy Mulyadi, Wartawan Senior]

pasang iklan di sini