Building a Better American Economy, ini adalah tagline dari sebuah booklet berjudul Employee Ownership yang diterbitkan oleh National Centre for Employee Ownership (NCEO). Buku tipis setebal 24 halaman ini berisi kisah-kisah menarik tentang apa dan bagaimana membangun perusahaan sukses berbasis perencanaan kepemilikan saham kepada karyawan (Employee Stock Ownership Plan), populer dengan akronim ESOP. NCEO sendiri adalah lembaga nirlaba yang didirikan pada 1981 dengan tujuan untuk mengadvokasi berbagai pihak yang tertarik ingin mendirikan atau bergabung dengan ESOP.
Mengapa orang harus tertarik dengan ESOP? Karena memang ada harapan yang menjanjikan penghasilan dan kerja yang yang lebih nyaman bagi karyawan maupun kelangsungan perusahaan yang semakin baik, sehingga para pihak bersedia menyumbangkan pikiran dan tenaganya untuk pekerjaan purna waktu. Karyawan sebagai pemilik saham ikut berpartisipasi atau diajak serta dalam proyeksi pengembangan perusahaan, sehingga tidak sekadar menjadi kuli kasar dengan upah rendah.
Yang jadi masalah, pemilik perusahaan mana sudi begitu saja mengalihkan atau menjual sahamnya ke karyawan? Pertanyaan seperti itu akan terus bergulir sepanjang mereka tidak mendapat penjelasan dan mekanisme ESOP.
Mengacu pada cerita sukses perusahaan pendahulu, ESOP dinilai dapat melestarikan warisan bisnis yang telah dibangun dengan susah payah, sekaligus melindungi dan memberikan kepastian masa depan kepada para karyawan yang sejak awal sudah membantu kemajuan perusahaan. Selain itu distribusi saham didasarkan pada skala gaji karyawan maupun persyaratan lainnya yang disepakati.
Bukan Konsep Baru
ESOP bukanlah konsep baru dalam program alih saham ke karyawan. Mengutip dari laman Menke Group, adalah Louis O Kelso yang mengenalkan istilah ini pada 1956. Pengacara dan ekonom yang mukim di San Frasisco itu mempraktikan ESOP sebagai cara untuk mengalihkan kepemilikan sebuah perusahaan surat kabar, Peninsula Newspapers, dari dua pendirinya ke penerus pilihan mereka, manajer dan karyawan.
Argumen Kelso kala itu adalah jika saham sebuah perusahaan akan dijual atau dialihkan, maka karyawan perusahaan itu sendiri yang punya opsi utama sebagai pembeli yang logis. Sebab, selain mereka yang paling memahami seluk beluk perusahaan, mereka juga yang membuat bisnis sukses sejak awal.
Masalahnya, bagaimana mungkin karyawan yang umumnya berpenghasilan pas-pasan bisa mendapatkan cukup uang untuk membeli bisnis? Tetapi Kelso agaknya tidak sekadar melepas gagasan. Ia menawarkan sejumlah opsi yang kemudian dapat diterima baik oleh pihak owner perusahaan maupun karyawan. Salah satu opsi yang ditawarkannya adalah mengalokasikan dana keuntungan perusahaan sebesar 30% untuk pembelian saham karyawan. Alternatif ini memang akan berisiko pada kehilangan sebagian besar dana pensiun mereka, namun dinilai jauh lebih baik ketimbang karyawan harus meminjam uang ke pihak lain atau pun menggadaikan rumah mereka. Menurut Kelso, ESOP menarik untuk dipelajari lebih lanjut ketimbang pemilik perusahaan menjual sahamnya ke pihak lain, yang sering berisiko pada pemberhentian besar-besaran para karyawan lantaran berbeda visi dalam pengembangan perusahaan ke depan. Maka ESOP pun bergulir menjadi salah satu alternatif dalam mewujudkan sebuah perusahaan yang memanusiawikan karyawannya.
Sebagai pembuktian atas kerja keras yang gigih dalam menyosialisasikan ESOP, Oktober lalu NCEO merilis daftar 100 perusahaan berbasis ESOP terbesar hasil seleksi dari sekitar 6.500 ESOP tersebar di seantero Amerika Serikat (AS). Rilis 100 ESOP ini juga bukan ‘kaleng-kaleng’ karena untuk dapat masuk daftar 100 bergengsi itu, sedikitnya 50 persen saham perusahaan dimiliki oleh karyawan atau setidaknya 50% karyawan penuh waktu memenuhi syarat untuk berpartisipasi. Namun demikian hampir sebagian besar dari daftar 100 ESOP tersebut kepemilikan sahamnya 100 persen milik karyawan.
NCEO menyebutkan, pencarian data dilakukan melalui korespondensi langsung dengan perusahaan, situs web perusahaan, atau data publikasi terbaru. Juga diakui tidak sepenuhnya perusahaan bersedia untuk dikonfirmasi dengan alasan yang tidak disebutkan. Namun NCEO tetap siap menerima sanggahan melalui email di dguzinski@nceo.org. Kendati di Indonesia ESOP masih belum populer, namun tidak ada salahnya jika kita berkenalam dengan program perusahaan yang manusiawi ini dengan menyimak daftar 100 ESOP dengan mayoritas kepemilikan hampir 100 persen karyawan.