Indonesia dan Malaysia selaku negara produsen terbesar sawit dunia bergandengan tangan melawan kebijakan perdagangan terbaru Uni Eropa.
Pemberlakuan European Union Deforestation- Free Regulation (EUDR) sejak 16 Mei 2023 menyulitkan eksportir komoditas perkebunan dan peternakan. Dalam ketentuan regulasi tersebut setiap eksportir wajib menyerahkan dokumen uji tuntas dan verifikasi serta menjamin produknya tidak berasal dari kawasan hasil penggundulan hutan (deforestasi) yang dilakukan mulai 1 Januari 2021.
Apabila ditemukan pelanggaran, eksportir akan dikenai denda hingga 4% dari pendapatan yang diperoleh di UE. Produk-produk ekspor yang dimaksud ialah minyak sawit dan produk turunannya, arang, kopi, kedelai, kakao, daging sapi, dan kayu. Selain itu, karet, kertas, kulit, dan produk turunannya juga masuk dalam kategori.
Selain itu, EUDR juga mewajibkan penerapan geolocation plot lahan kelapa sawit dan country benchmarking system yang akan membagi negara dalam 3 kategori yakni high risk, standard dan low risk. Hal ini akan merugikan petani kecil dan negara yang dimasukan dalam high risk.
Untuk Indonesia, yang paling merugikan dari regulasi EUDR tersebut tentu saja pada komoditas produk sawit. Pasalnya, produk sawit nasional tercatat menguasai 59% pangsa pasar dunia. Selanjutnya, menyusul Malaysia dengan pangsa sebesar 25% dan gabungan negara lain sebesar 16%.
Produk komoditas sawit seperti CPO juga merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang diandalkan. Pada tahun lalu, data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebutkan, produksi CPO sebesar 46,729 juta ton dengan volume ekspor sebesar 30,803 juta ton dengan nilai mencapai US$39,28 miliar setara Rp608 triliun (asumsi kurs Rp15.500), atau naik 11% dari 2021 senilai US$35,3 miliar.
Pemberlakuan EUDR itu juga dinilai sebagai alat untuk menekan defisit neraca perdagangan. Pasalnya Uni Eropa selalu tekor berdagang dengan Indonesia. Pada 2022, Indonesia tercatat 10,49 miliar dollar AS atau naik sekitar 43% dibanding 2021 sebesar 7,3 miliar dollar AS dan naik tiga kali lipat dibanding 2020 sebesar 3,26 miliar dollar AS.
Menanggapi pemberlakuan EUDR tersebut, pemerintah telah menyatakan keberatannya. Hal ini didukung oleh Malaysia sebagai sesama produsen sawit terbesar dunia.
Sikap penolakan EUDR disampaikan Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bersama dengan Deputy Prime Minister – Minister of Plantation and Commodities of Malaysia Dato’ Sri Haji Fadillah Bin Haji Yusof di acara jamuan makan malam dengan perwakilan Civil Society Organisations (CSOs) dan Non-Governmental Organisations (NGOs) di Brussels – Belgia, 30 Mei 2023.
“Implementasi EUDR jelas akan melukai dan merugikan komoditas perkebunan dan kehutanan yang begitu penting buat kami seperti kakao, kopi, karet, produk kayu dan minyak sawit,” ungkap Menko Airlangga.
Kebijakan tersebut seperti mengecilkan semua upaya Indonesia yang berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan menyangkut isu perubahan iklim hingga perlindungan biodiversity sesuai dengan kesepakatan, perjanjian dan konvensi multilateral, seperti Paris Agreement.
Airlangga menambahkan, negara anggota CPOPC secara ketat sudah mengimplementasikan berbagai kebijakan di bidang konservasi hutan. “Bahkan level deforestasi di Indonesia turun 75% pada periode 2019 – 2020. Indonesia juga sukses mengurangi wilayah yang terdampak kebakaran hutan menjadi 91,84%,” tegasnya.
Indonesia meminta pengakuan dan pemahaman atas apa yang telah dilakukan dalam memproduksi palm oil secara berkelanjutan. Menko Airlangga juga menyerukan dan meminta CSOs dan NGOs di Eropa yang hadir untuk bersama-sama secara aktif bersuara dan mempromosikan minyak sawit dalam skema yang obyektif, transparan, tidak diskriminatif, serta didukung oleh data dan informasi yang akurat, terbarui, dan terpercaya.
Komitmen Indonesia untuk memproduksi minyak sawit yang memenuhi persyaratan keberlanjutan tidak perlu diragukan. Selain itu, cara Indonesia menyelesaikan berbagai isu terkait deforestasi, perubahan iklim telah diketahui dan dijadikan contoh oleh berbagai organisasi internasional dan multilateral antara lain publikasi Bank Dunia Climate Development Report yang terbaru.
Di samping itu ditegaskan bahwa adanya produk No Palm Oil perlu dilawan dan peran dari CSO dan NGO untuk melawan kampanye negatif ini harus terus-menerus dilakukan secara konsisten. Sejalan dengan penjelasan Menko Airlangga, Deputi PM Malaysia juga menegaskan akan terus mendukung upaya penanganan perubahan iklim dan penurunan deforestasi.
Hal senada diungkapkan oleh Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) yang menyampaikan keprihatinan karena produk kelapa sawit dianggap sebagai perusak lingkungan. Asosiasi yang dipimpin oleh Gulat ini bahkan sedang mempersiapkan gugatan ke pengadilan internasional atas langkah Uni Eropa tersebut.
Dalam pandangan Apkasindo, seharusnya Indonesia yang menghukum Uni Eropa dengan tidak mengirimkan minyak sawit ke benua biru tersebut. Apalagi Uni Eropa dinilainya tidak bisa lepas dari minyak sawit. Oleh karenanya, mereka mendesak pemerintah agar tidak menuruti ketentuan baru tersebut.
Terkait dengan kinerja industri sawit nasional pada tahun ini, Gapki mencatat, produksi minyak sawit pada awal tahun stagnan dan stoknya cenderung turun. Produksi CPO pada Januari 2023 sebesar 3,89 juta ton dan minyak inti sawit (PKO) sebesar 370.000 ton yang relatif sama dengan produksi CPO pada Januari 2022 sebesar 3,86 juta ton dan PKO sebesar 365.000 ton.
Khusus konsumsi dalam negeri CPO dan PKO, Gapki mencatat sebesar 1,786 juta ton lebih tinggi dari konsumsi periode sama tahun sebelumnya sebesar 1,49 juta ton. Sementara volume ekspor CPO pada Januari 2023 mencapai 2,94 juta ton yang lebih tinggi dari ekspor Desember 2022 sebesar 2,75 juta ton.
Negara tujuan ekspor seperti Mesir, Italia, dan Singapura pada Januari 2023 menunjukkan pemulihan masing-masing mencapai 57.220 ton, 114.280 ton dan 23.800 ton dibanding ekspor pada Desember masing-masing sebesar 9.410 ton, 72.580 ton, dan 8.280 ton.
Proses negosiasi Indonesia dan Malaysia dengan Uni Eropa tampaknya masih akan terus berlangsung. Sikap perlawanan sudah ditunjukan oleh kedua negara tetangga tersebut. Bahkan akibat EUDR ini Indonesia menunda pembahasan perdagangan bebas dengan Uni Eropa. Akankah membuahkan hasil positif? (Kur).