Radio ajeg melintasi berbagai era. Bahkan, dari tiap zamannya, radio menjadi materi yang dipertahankan, dijaga, dirawat dan dikoleksi. Sejalan dengan hadirnya komunitas benda antik tersebut.
SEBAGAI alat penerima, radio telah hadir di Nusantara sejak akhir 1920-an. Khususnya produk dari negara Belanda seperti Philips, Erres, NSE. Seiring kemajuan teknologi, radio mulai yang menggunakan komponen tabung, transistor, IC hingga terbaru adalah radio yang memanfaatkan internet.
Radio merupakan salah satu media yang tak habis ditelan zaman, baik sebagai bentuk siaran maupun alat penerima. Meskipun siaran broadcast sekarang lebih mengerucut ke gelombang tertentu saja, nyatanya radio masih ada, didengarkan dan dirayakan. Meski berbagai media hiburan dan informasi terus bermunculan, radio tidak kehilangan pendengar. Ia tetap menjadi salah satu media yang masih disimak.
Untuk memperingati World Radio Day, Komunitas Radio Antik Bandung (KRAB) bersama komunitas pecinta radio menggelar pameran radio jaman dulu (jadul).
“Semua radio di pameran ini masih menggunakan gelombang Short Wave (SW). Saat ini sedikitnya ada 41 radio jenis ini yang ada dalam pameran,” ujar Prayudi Wibowo, pendata riset dan kuratorial pameran ini. Radio Philips 333A menjadi radio paling tua di sana, buatan 1936. Cangkang radio ini dari kayu dan dibuat di Belanda.
Pameran radio jadul denga konsep narasi ini yang pertama diadakan di Indonesia. Tak Cuma memamerkan benda saja. “Tapi panitia ingin membuat perbedaan dengan memberikan narasi dan sejarah dari radio yang dipajang,” ujar Yudi Wibowo. Tampak sejumlah radio antik diperjualbelikan. Harganya bahkan ada yang menyentuh Rp7 juta. Komunitas penjual barang antik di Cikapundung juga kerap menjual barang tersebut. Sejumlah toko di beberapa kota pun masih menjual radio antik.
DI BANDUNG, berawal dari kegiatan hobi personal yang kebetulan dipertemukan di Sate Lemans. Pada 2006, Andar Manik dan Rachmat menggagas komunitas penggemar radio tabung. Perkumpulan para penghobi radio vintage ini menghadirkan radio tabung di ruang pertunjukan musik.
Ide tersebut muncul untuk mendekatkan para pegiat musik. Musik dan radio bagai kacang dengan kulitnya, atau cangkang dengan isinya. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Sinergitas kedua penggemar radio tabung ini terus bergulir sejak era radio tabung hingga kini. Komunitas Radio Antik Bandung (KRAB) kata Andar, kerap berkumpul dan saling belajar tentang teknologi radio atau informasi kesejarahan tentang barang barang koIeksinya. Mereka pun menggelar pameran dengan tujuan untuk menyebarkan informasi dan pengetahuan tentang radio tabung.
Salah satu perhelatan pameran yang dikatakan cukup fenomenal adalah ketika KRAB memamerkan koleksinya dalam acara peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 2010. “Salah satu anggota kami, Kang Dedi, berhasil merekonstruksi ulang siaran pidato Bung Karno ketika KAA yang dipancarkan melalui pemancar rakitan untuk kemudian ditangkap oleh radio Philips BX 459 N11 dalam Gedung Merdeka,” tuturnya. Pidato Bung Karno yang berkumandang melalui Philips BX4S9A kemudian menjadi penanda dibukanya peringatan KAA ke-55 secara resmi.
Mereka pernah menyelenggarakan pameran dan workshop untuk anak dan remaja tentang pembuatan Radio Kristal pada 2009 di Commonroom Network Foundation. Pada acara itu, KRAB mempertemukan dua pakar radio tabung. yaitu ‘dokter Radio Tabung’ Pak Oo Khalid dan Prayudi Wibowo, mewakili dua generasi.
DI YOGYAKARTA, beberapa penggemar radio antik berkumpul pada bulan Juni 2023. Mereka bermufakat membentuk satu himpunan penggemar radio antik bernama Paramarta. Singkatan dari Paguyuban Radio Antik Mataram Yogyakarta. Wadah bagi mereka yang memiliki minat dan kecintaan terhadap keindahan nilai sejarah, seni, teknis, nostalgia dari radio antik.
Ada seratusan koleksi radio kuno yang ditampilkan, baik radio transistor maupun radio tabung. Antara lain radio transistor aneka warna, radio transistor plastik, radio transistor saku, juga radio tabung era penjajahan Jepang dan Belanda. Radio transistor plastik, radio transistor saku, radio tabung jaman penjajahan Dai Nippon, radio tabung era Hindia Belanda, radio Roti. Harga sebuah radio buatan tahun 1967? Bukan Rp40 juta, bukan Rp50 Juta. Radio berbentuk persegi warna hijau itu diangkat. Di bagian body radio tertera keterangan harganya setara satu ekor sapi.
Begitulah. “Radio ajeg melintasi berbagai era. Bahkan, radio dari tiap zamannya menjadi materi yang dipertahankan, dijaga, dirawat dan dikoleksi,” kata Nanang Sujatmiko, kolektor radio antik sekaligus salah satu founder Paramarta. Paguyuban ini menggelar pameran radio antik dan wewara (pekabaran) di Sleman, Yogyakarta, 16-22 September 2023.●(Zian)