Bahas tuntas dahulu kebijakan politik dan anggaran, sampai tiba pada kesimpulan apakah proyek infrastruktur itu perlu diteruskan atau tidak. Yang terjadi, lompat langsung ke tahap tiga. Alhasil, wujud dana miliaran rupiah cuma frame sebuah kota yang prematur.
GAGASAN pembangunan Kota Baru bernama Bandar Negara di Lampung itu ide lama. Diancangkan sebagai pusat pemerintahan baru Provinsi Lampung sekitar satu dasawarsa silam. Ketika Sjachroedin ZP menjadi gubernur di provinsi paling selatan di Pulau Sumatera. Malang tak dapat dihindari, realisasi rencana ibu kota baru Provinsi Bumi Ruwa Jurai itu berujung mangkrak di tahap dini. Di sana sini, dalam jarak berjauhan, yang dihubungkan jalanan seperlunya, berdiri gedung permanen tak berpenghuni. Tak ada air, sanitasi, dan aliran listrik. Jadi, semacam kota mati.
Kota Baru ini berada di sebelah timur laut Kota Bandar Lampung, masuk ke dalam wilayah Kabupaten Lampung Selatan. Secara garis besar, tanah seluas 1.308 hektare (ha) di Kotabaru milik Pemprov Lampung itu sedianya 450 ha di antaranya bakal dibangun areal perkantoran. Kota baru ini dihajatkan sebagai pengganti Bandarlampung yang, antara lain, dianggap telah crowded.
Pada rapat paripurna dengan DPRD Provinsi yang dihelat 15 November 2019 lalu, Dinas Perumahan, Kawasan Pemukiman, dan Ciptakarya Provinsi Lampung mendapatkan tambahan anggaran Rp11,5 miliar. Rinciannya, Rp2 miliar untuk dukungan pembangunan Mapolda Lampung, Rp9 miliar untuk dukungan tambahan, dan Rp500 juta untuk tinjauan ulang masterplan Kotabaru untuk diaktifkan kembali.
Cepat atau lambat pembangunan Bandar Negara akan diteruskan, kata Sekda Provinsi Lampung, Fahrizal Darminto. Pihaknya akan melakukan penataan ulang dan melakukan pembangunan supaya cita-cita masyarakat Lampung Berjaya bisa terwujud. Setelah ditata, ujarnya, bisa dikomunikasikan dengan investor yang ingin terlibat dan ambil bagian dalam pembangunan tersebut. Selain diisi dengan gedung perkantoran, di kota baru tersebut mesti ada tempat sebagai fungsi pendidikan, perumahan, komersial, perekonomian, dan sebagainya.
“Kita rencanakan lagi, studinya dimatangkan kembali. Kita lihat amdal. Insvestornya kita harus yakinkan. Masterplan yang lama sudah ada, tapi perlu kita update,” kata Fahrizal. Senada, Ketua DPRD Provinsi Lampung, Minggrum Gumay, menuturkan, “Kota baru merupakan aset negara yang tidak boleh ditelantarkan dan harus dipertanggungjawabkan”. Dana yang tertanam di pembangunan Kotabaru itu sejak 2010 sudah mencapai miliaran rupiah.
Aneh tapi nyata, setelah beberapa gedung berdiri, dan kini melapuk, pro kontra muncul ke permukaan. Kran jelas apa sekian tahun lalu hal serupa sudah muncul atau beluuum. Masalah yang dipersoalkan pun cukup serius. Cukup mendasar. Yakni masalah perencanaan, planning. Salah seorang pengamat yang pro Pemprov mengusulkan pembangunan (dan keberlanjutannya) ibu kota baru Lampung itu adalah Syafarudin Rahman, peneliti Labpolotda dan dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Unila.
Kata Syafarudin, program ini telah dikaji secara matang di era Gubernur Sjachroedin ZP, dan sudah ditetapkan melalui Perda No. 2/2013 tentang Pembangunan Kotabaru Lampung. Pembangunan kota tersebut merupakan prioritas yang harus diselesaikan Pemda dan DPRD Lampung sesuai dengan tahapan pembangunan yang ditetapkan sesuai dengan Pasal 11 dan 12 Perda tersebut.
Alasan lainnya, perkembangan Bandar Lampung sudah padat akibat tingginya pertumbuhan penduduk, sehingga bebannya perlu dikurangi. Dikatakan pula, pembangunan Lampung City Superblock di kawasan Telukbetung akan menambah beban Kota Bandar Lampung di samping meningkatkan kemacetan lalu lintas.
Pembangunan tahap awal Kota Baru berupa gedung kantor Gubernur, DPRD, masjid, kantor polisi, juga kampus Institut Teknologi Sumatera (Itera). Kehadiran jalan tol yang dibangun pemerintah pusat mendorong pengembangan wilayah sekitarnya sebagai kawasan penyangga. Lima kecamatan yang menjadi kawasan penyangga sekaligus mitra Kota Bandar Lampung itu meliputi Natar, Jatiagung, Tanjungbintang, Merbau Mataram, dan Tanjungsari.
Warga lima kecamatan tersebut sekarang ingin mengajukan proposal persiapan Kabupaten Bandar Lampung dengan pusat pemerintahan di kecamatan Jati Agung. Mereka pun meminta pencadangan lahan kantor pemerintahan di dalam 1.400 ha kawasan Bandar Negara. Adapun untuk pembangunannya perlu public private partnership.
Yang relative baru eksis di sana adalah Rumah Sakit Bandar Negara Husada, yang ditetapkan sebagai pusat penanganan Covid-19 di Lampung. Artinya, berbagai sumber daya di Bandar Negara yang selama ini ‘tertidur’ mulai diaktifkan. Rumah Sakit Bandar Negara Husada (RSBNH) di Kota Baru Jati Agung menjad team leader bagi rumah sakit utama Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM), RSUD Bob Bazar Kalianda dan RSUD Jenderal Ahmad Yani Kota Metro.
Suara berbeda, bahkan frontal menentang, muncul dari ilmuwan universitas yang sama. Adalah staf pengajar Universitas Bandar Lampung, Ilham Malik, yang menilai proyek di Kecamatan Tanjung Karang Timuritu relatif boros . Dia sarankan seyogianya disetop saja. “Saya berpendapat case closed. Kasus ini kita tutup sajalah,” ujar Ilham dalam perbincangan dengan sebuah media, April lalu. Pasalnya, biaya membenahi Kota Bandar Lampung jauh lebih murah ketimbang repot-repot memindahkan pusat pemerintahan dan membangun Kota Baru Bandar Negara.
Bahas tuntas dahulu kebijakan politik dan anggaran, sampai tiba pada kesimpulan apakah proyek infrastruktur itu perlu diteruskan atau tidak. “Tentukan masa depan Lampung mau seperti apa dengan 15 kota dan kabupaten. Harus ada kejelasan, sehingga energi dan semua sumber daya mengarah ke sana. Rancang sesuatu yang kontekstual dengan masa depan Lampung dan itu belum tentu Bandar Negara,” tuturnya.
Ilham Malik menyayangkan pembahasan yang langsung masuk ke fase mengarahkan Bandar Negara harus dibangun sebagai pusat pemerintahan baru Provinsi Lampung, dengan melompati dua tahap awal, yakni penetapan kebijakan politik dan anggaran. “Jadi, diskusi yang berkembang langsung masuk ke tahap ketiga. Seolah-olah kita harus membangun Bandar Negara sebagai pusat pemerintahan baru,” ucapnya lagi. Dua tahap awal itu harus dilakukan lebih dahulu, untukmemastikan perencanaan pembangunan kotanya seperti apa. Di sinilah peran perancang kota dan arsitek dibutuhkan.
Gedung-gedung yang kini digunakan sebagai pusat pemerintahan Provinsi Lampung memang banyak yang perlu dibenahi. “Kita lihat sekarang gedung-gedung Kantor Gubernur kurang layak, tidak bisa dinikmati, banyak semak, saluran drainasenya tidak bagus. toilet dan sanitasinya buruk,” katanya. Membangun sebuah kota jangan dimaknai secara sederhana sebagai membangun jalan, gedung, fasilitas-fasilitas fisik semata, tetapi harus membangun sebuah sistem dan kehidupan dalam jangka panjang.●(dd)