Di Wamena, Irian Jaya, ritual Bakar Batu dikenal dengan kit ova isago. Di Paniai disebut mogo apil. Suku Lani menyebutnya lago lakwi. Beberapa suku Papua lainnya, termasuk suku Dani, istilahnya barapen.
TANAH Mutiara Hitam. Itulah sebutan lain untuk Papua. Sebelumnya, pulau kepala burung itu dijuluki Irian Barat, Seperti daerah-daerah lain di Tanah Air, Papua memiliki daya tariknya tersendiri. Salah satu upacara adat yang cukup terkenal adalah tradisi/upacara Bakar Batu. Dalam upacara adat ini, segenap warga satu kampung tumpah ruah melakukan ritual memasak dan makan bersama.
Tradisi unik tersebut dilakukan oleh suku Dani dari Lembah Baliem, Papua. Penamaan “Bakar Batu” ini letterlijk. Sebab, mereka benar-benar memasak dengan batu yang dibakar terlebih dahulu. Setelah dibakar, batu-batu tersebut dimasukkan ke dalam lubang kecil. Lalu, seperti kue lapis, bahan makanan seperti daging, umbi-umbian dan sayuran disusun tepat di atasnya dan dibiarkan hingga matang.
Tradisi ini telah dikenal sejak ratusan tahun silam. Dalam formatnya yang asli, upacara Bakar Batu bagi masyarakat pegunungan tengah Papua adalah pesta bakar daging babi. Sekarang, mereka tidak harus membakar babi. Terkadang juga hewan lain seperti ayam, kambing, atau sapi.
Cikal bakal ritual ini, konon, berkat ‘penemuan’ sepasang suami istri. Mereka bingung mengolah hasil kebun mereka. Sebab, panci yang digunakan untuk memasak tidak ada. Entah ide datang dari mana, hasil kebun itu pun dimasak menggunakan batu. Hasilnya? Masakan terasa lebih lezat. Sejak saat itu mereka putuskan memasak daging, umbi-umbian dan beragam jenis masakan dengan menggunakan batu.
Sebutan untuk Tradisi Bakar Batu ternyata beragam. Di Wamena ritual ini dikenal dengan nama kit oba isago; di Paniai disebut dengan mogo apil. Yang pasti, ritual ini pada umumnya diselenggarakan ketika ada peristiwa penting. Di antaranya kelahiran, kematian, perkawinan, ucapan syukur atas hasil panen. Belakangan dijadikan juga sebagai seremoni persembahan menyambut tamu-tamu khusus.
Pelaksanaan Tradisi Bakar Batu terdiri dari tiga tahapan. Yaitu tahap persiapan, tahap bakar babi, dan tahap makan bersama.
Tahap Persiapan. Pada tahap ini, masyarakat Papua mengumpulkan kayu bakar dan batu untuk memasak. Di bagian paling bawah, ditata batu-batu dengan ukuran besar dan ditutup menggunakan kayu bakar. Tumpukan tersebut akan dibakar hingga habis dan batu menjadi panas.
Warga lainnya mempersiapkan sebuah lubang dengan ukuran yang disesuaikan dengan jumlah bahan makanan yang akan dimasak. Dasar lubang nantinya dilapisi daun alang-alang dan daun pisang. Selanjutnya, batu-batu yang telah panas disusun di atas dedaunan dengan cara dijepit menggunakan kayu khusus yang biasa disebut apando. Persiapan ini dilakukan oleh kaum pria.
Selanjutnya, setiap suku menyerahkan babi. Masing-masing kepala suku akan memanah babi secara bergiliran. Masyarakat Dani meyakini, jika sekali panah babinya langsung mati, upacara akan berjalan sukses. Sebaliknya, jika babi tidak langsung mati, dipercaya akan terjadi hal yang kurang baik saat pelaksanaan ritual.
Tahapan membakar babi. Tahap yang kedua ialah membakar babi. Sebelum dibakar, babi dibelah dan dikeluarkan isi perutnya serta bagian-bagian lain yang tidak dimakan. Babi lalu diletakkan di atas alang-alang yang telah dipersiapkan dan ditutup menggunakan dedaunan dan batu panas. Pada lapisan atas, diletakkan rerumputan tebal dan ubi jalar. Sayur-sayuran diletakkan di atasnya, seperti daun hipere, iprika, daun singkong, labu parang, daun pepaya. Di bagian paling atas diletakkan potongan buah-buahan.
Waktu yang dibutuhkan dalam proses pembakaran hingga marang sekitar 60 sampai 90 menit. Rumput akan dibuka dan makanan dikeluarkan satu per satu. Menu matang siap santap tersebut lalu dihamparkan di atas rerumputan.
Tahap makan bersama. Setelah hidangan telah siap, warga akan berkerumun dan menyantap makanan tersebut. Orang pertama yang menikmati adalah kepala suku. Ia akan menerima sebongkah daging babi dan ubi. Setelah itu, barulah warga lain mendapat jatah yang sama.
Tradisi bakar batu merupakan tradisi turun temurun dari berbagai suku di Pegunungan Papua.Ritual dengan cara memasak bersama (tradisional massal cooking) yang bertujuan untul mengungkap rasa syukur kepada pemberi kehidupan atas karunia yang mereka terima. Bakar batu juga sebagai wahana silaturahim dan ajang saling mempererat persahabatan sesama etnis/subetnis.
RITUAL ini biasa dilakukan untuk menyambut event khusus atau kabar bahagia tentang apa yang sudah dialami. Di masa lampau, upacara bakar batu ini dilakukan untuk mengumpulkan anggota suku untuk berperang atau melakukan pesta ritual sebagai ungkapan kegembiraan setelah melakukan tugas peperangan antarsuku. Atau upacara kegembiraan atas dicapainya kesepekatan dan telah terjadi perdamaian antarkelompok yang bersengketa atau terlibat konflik.
Selama makanan berproses di dalam lubang, sambil menunggu matang, diadakan berbagai aktivitas. Bisa tarian massal khas daerah setempat atau cuma komunikasi dengan kepala suku. Setelah makanan matang, timbunan makanan tadi dibuka, dan dihidangkan pada hamparan daun pisang atau dedaunan lain untuk jadi santapan kolektif.
Di balik keunikan upacara ritual tersebut, upacara adat bakar batu ini merupakan simbol kesederhanaan, kebersamaan dan rasa syukur masyarakat adat Papua. Filosofi yang terkandung sarat makna. Simbol kebersamaan warga adat dengan tetua adat, persamaan hak, keadilan dan kerukunan, nilai tulus, jauh dari rasa iri dengki dendam kesumat
Bakar Batu dilakukan oleh suku pedalaman seperti: Lembah Baliem, Nabire, Paniai, Pegunungan Tengah, Jayawijaya, Pegunungan Bintang, Dekai, Yahukimo. Dalam perkembangannya, upacara bakar batu ini memiliki penyebutan yang berbeda-beda, yakni: Kit Oba Isago di Wamena; Barapen di Jayawijaya; dan Mogo Gapil di Paniai.
Kearifan lokal semacam ini berfungsi menguatkan kebersamaan antarwarga yang terlibat. Upacara ini juga menjadi simbol kesederhanaan masyarakat Papua dalam menjunjung persamaan hak, kekompakan, keadilan, kebersamaan, ketulusan, kejujuran, dan keikhlasan yang membawa pada perdamaian. Bakar Batu dilakukan saat menyambut kebahagiaan, seperti: Kelahiran, Perkawinan adat, Penobatan kepala suku, Mengumpulkan prajurit ketika akan berperang. Upacara Bakar Batu tetap dipraktikkan hingga kini. Kaum muslim di Wamena juga biasanya melakukan tradisi ini. Sebelum memasuki bulan Puasa, mereka akan melakukan upacara bakar batu sebagai momen masyarakat agar saling memaafkan.●