BANDUNG—-Hutan Kota seluas 3,8 hektare ini dinamakan Babakan Siliwangi karena terletak di kelurahan bernama sama di kota Bandung. Warga menyebutnya sebagai baksil dan menjadi tempat wisata alternatif setelah ditata dengan apik dan diresmikan oleh Wali Kota Bandung ketika masih dijabat oleh Ridwan Kamil pada 17 Januari 2018.
Saya bersama seorang rekan mengunjungi Baksil beberapa waktu lalu dan mendapatkan tempat ini seperti sebuah oase menyegarkan di tengah pertumbuhan kota yang menggerus Ruang Terbuka hIjau (RTH).
Di antara yang mencolok adalah pembangunan jembatan dari kayu untuk berjalan kaki (Forest Walk) bagi pengunjung sambil menikmati panorama. Hal ini merupakan strategi yang bijak, sebab tidak mempunyai banyak pengaruh untuk penyerapan air di tanah.
Sementara di bagian bawah ada spot khusus untuk pedagang kaki lima, hingga pengunjung bisa bersantap sehabis lelah mengelilingi hutan. Kami melihat sejumlah keluarga memanfaatkan bangku untuk duduk dan makan.
“Jalan jembatan ini visioner, melingkar seperti angka delapan,” ucap Widya, rekan saya.
Mulanya forest walk Baksil ini berada dalam dua titik berbeda. Titik pertama lokasinya berada di bagian atas Baksil atau menuju Kebun Binatang Bandung. Sementara kedua berada di bagian bawah membentang sepanjang jalan menuju Sabuga dari arah Taman Teras Cikapundung. Namun kini keduanya dilebur menjadi satu bagian. Panjangnya sekitar dua kilometer. Integrasi yang cerdas.
Pada berapa spot kami bisa melihat sebuah stadion olahraga dan kolam renang, mobil yang lalu lalang dan praktis polusi yang dikeluarkan dari knalpot direduksi oleh keberadaan pohon-pohon. Suara burung terdengar sayup memberikan indikasi bahwa tempat ini jadi suaka kecil bagi sejumlah satwa.
Tanpa terasa kami mengelilingi Baksil sejauh 4,3 kilometer. Itu menurut aplikasi android dimiliki rekan saya. Cukup bagus untuk kardio tanpa terasa, mendapatkan kesehatan sekaligus menikmati pemandangan. Sebagai catatan tempat wisata ini gratis. Padahal panjang jembatan ini hanya sekitar dua kilometer dan merupakan salah satu forest walk terpanjang di Asia Tenggara.
Menurut Alumni Perancangan Kota ITB Bandung dan Kepala Taman Hutan Raya Djuanda Lian Lubis keberadaan Baksil adalah tuntutan perkembangan kota yang tidak bisa membuat sebuah hutan kota hanya sebagai sebuah hutan.
“Dulu tempat ini bukan hutan benar, tetapi masih ada tegalan, semak belukar. Namun kemudian dikelola dan ada elemen estetika seperti adanya trek. Hasilnya hutan ini lebih terawat dan burung-burung makin banyak berdatangan,” ungkap dia ketika dihubungi Peluang, Rabu (18/12/19).
Menurut Lian tinggal pengelolaan secara modern, maka Baksil sebetulnya bisa membiayai dirinya sendiri. Selain itu Pemkot bisa mendata berapa spesies tanaman dan fauna yang di sana. Kalau bisa ditambah, maka ekosistem di sana akan semakin baik.
Sejumlah referensi juga menunjukan tempat rekreasi Bandung ini memiliki kontur berbentuk lembah. Datawisata mengungkapkan baksil terbentuk dari alam yang disebabkan oleh sungai Cikapundung sudah terjadi sejak puluhan tahun silam.
Kawasan Baksil Bandung lebih dulu dikenal area sabuk hijau kota Bandung yang kerap disebut Lebak Gede. Pada 1920, tim ahli dari Belanda sudah merancang dan bersiap menata kelola kota Bandung, agar lebih terkesan rapi dan asri.
Pada masa kemerdekaan, pada era Wali Kota Otje Djundjunan pada periode 1971 – 1976, kawasan Babakan Siliwangi dan Lebak Gede mulai digarap oleh pemerintah sebagai kawasan wisata komersial. Sempat dibangun bermacam restoran kuliner Sunda serta wahana permainan, hingga. pusat seni budaya Sunda.
Namun pada 2000-an kemudian tempat ini menjadi kontroversi dan sempat hendak dijadikan kompleks apartemen. Namun akhirnya dikembalikan menjadi hutan kota yang bisa diakses oleh masyarakat hingga sekarang. (Irvan Sjafari).