Sektor transportasi dan akomodasi babak belur mempertahankan keberlangsungannya selama dan setelah dihajar virus corona. Tak kecuali usaha-usaha ekonomi grass root di daerah destinasi wisata. Situasi diprediksi pulih pada tahun 2024.
Industri pariwisata menjadi korban paling awal terdampak virus corona. Virus yang bercikal bakal dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok, dan mulai terdeteksi di Indonesia medio Februari.
Wabah virus itu mendunia, merenggut nyawa dan mengultimatum siapa pun untuk stay at home. Boro-boro melancong dan bepergian jauh-jauh. Maka, maskapai udara di berbagai belahan dunia sontak kehilangan penumpang. Bersamaan dengan itu, dengan sendirinya, hunian di hotel-hotel berbagai level melorot bahkan terjun bebas.
Akhir pekan pertama April 2020, Persatuan Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI) merilis 1.504 hotel harus tutup sementara akibat wabah virus corona. Padahal, di awal pekan angkanya masih 1200-an hotel. Penutupan hotel merata terjadi di seluruh Indonesia, dari Aceh hingga Papua.
Provinsi yang paling terkena dampak adalah Jawa Barat, yakni mencapai 475 hotel. Pada kuartal kedua 2020, tak kurang dari 2.000 hotel dan restoran menghentikan aktivitasnya secara total. Penutupan ini menyisakan kerugian masing-masing sebesar Rp40 triliun dan Rp45 triliun.
Merujuk pada data PHRI, 1.642 hotel dan 353 restoran/tempat hiburan telah berhenti beroperasi per 13 April 2020. “Daerah tujuan wisata yang paling merasakan penurunan jumlah wisatawan yaitu Manado, Bali dan Batam,” ujar Ketua Umum PHRI, Hariyadi Sukamdani.
Ada empat provinsi dengan jumlah hotel terbanyak yang menghentikan operasionalnya. Yaitu Jabar sebanyak 501 hotel, Bali (281 hotel), Jatim (144 hotel) dan DKI Jakarta (100 hotel). Hingga pekan kedua April, menurut data Kementerian Pariwisata, 180 destinasi dan 232 desa wisata di Indonesia ditutup.
Tingkat hunian hotel di Indonesia bulan Mei, kata Haryadi Sukamdani, hanya 14,45 persen. Jika dipilah berdasarkan wilayah, tingkat okupansi Jakarta hanya 20 persen dari Januari hingga Juli 2020, Batam dan Yogyakarta hanya 10 persen, dan Bali menjadi daerah terdampak paling parah, tingkat hunian hotel tersisa 1 persen. Kunjungan pelancong ke daerah primadona wisata itu memasuki tahap sekarat.
Dalam catatan BPS, okupansi hotel berbintang cuma 14,45% di bulan Mei. Sebanyak 2.000 hotel dan 8.000 restoran berhenti beroperasi selama PSBB. Di daerah yang telah melonggarkan PSBB, kata Hariyadi Sukamdani, okupansi hotel masih rendah.
Secara nasional rata-rata okupansi 10-20%. Rinciannya di Jakarta dan Semarang, angkanya di kisaran 15%; Surabaya, Yogyakarta, dan Medan baru 10%; Makassar sekitar 6%; Batam sekitar 3%; dan Bali sang primadona Indonesia hanya 1%.
Implikasinya, mau tak mau, suka tak suka, beberapa hotel memberhentikan pekerja harian (daily worker) dan menonaktifkan karyawan dengan status cuti di luar tanggungan perusahaan (unpaid leave) bagi pekerja tetap pekerja ataupun pekerja kontrak. Hotel dan restoran yang masih beroperasi menerapkan kebijakan waktu kerja secara bergiliran.
Amaroossa Group, misalnya, membuat program yang melibatkan pekerja hotel agar operasional tetap berjalan seperti penjualan paket pesan antar F&B, cleaning service, laundry, ataupun jasa-jasa lainnya yang bisa hotel tawarkan untuk pelayanan ke rumah-rumah.
“Intinya bringing the hotel service experience to your home. Semua hal yang dilakukan di masa pandemi ini kita lakukan dengan standar protokol kesehatan yang ketat,” ujar Belinda Rosalina, yang juga Ketua Bidang Legal PHRI.
Memasuki fase New Normal, Juni lalu—istilah yang diakui salah dan diganti dengan “adaptasi kebiasaan baru”—masa depan sektor ini masih buram. Sebenarnya, industri pariwisata sudah terpukul pandemi virus corona sebelum pemerintah menerapkan kebijakan PSBB, per 1 April melalui PP No. 21. Dari data Kemenparekraf tercatat, 10.946 usaha pariwisata telah terdampak dan 30.421 tenga kerja wisata kehilangan pekerjaan/sumber penghasilan.
DKI Jakarta yang mulai membuka destinasi wisatanya pada 20 Juni juga belum mencatatkan peningkatan kunjungan wisatawan. Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi DKI Jakarta, Cucu Ahmad, menyatakan kunjungan wisatawan selama tiga pekan awal beroperasi baru mencapai 20-30%.
Stagnasi industri pariwisata terlihat nyata dari minimnya perjalanan dengan pesawat. Pada posisi Mei 2020, sektor penerbangan domestik mengalami penurunan 98,34 persen dibandingkan dengan Mei tahun 2019.
Maskapai Garuda Indonesia, misalnya, menyebut peningkatan penumpang di masa New Normal hanya 16%. Rata-rata penumpang per penerbangan belum mencapai 50% kapasitas pesawat, meski Kemenhub telah mengizinkan mengangkut penumpang sampai 70%.
Salah satu cara yang dapat dilakukan ialah dengan dibukanya kembali destinasi wisata di beberapa daerah Indonesia. Dalam hal ini, faktor kesehatan, kebersihan, dan keamanan akan menjadi poin utama bagi daerah yang akan dibuka kembali pariwisatanya.
“Pembukaan destinasi wisata ini sedikit demi sedikit akan memulihkan industri ini. Saya senang karena pada Juli ini Bali sudah dapat membuka akses pariwisata bagi turis domestik dan di September dibuka untuk turis asing,” ujarnya.
Pada tahap satu nanti, ujar Wiratno, Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, akan ada 20 taman nasional dan wisata alam yang dibuka.
Namun, jika dalam pembukaannya terdapat pelanggaran atau tercipta cluster baru Covid-19, destinasi wisata tersebut akan ditutup kembali—sebagaimana sekolah-sekolah yang sampai dengan Desember ini off dan pembelajaran berlangsung secara online.
Kegiatan ekonomi ikutan yang hasilnya dapat dinikmati masyarakat cukup berarti. Komponen pengembangan pariwisata terdiri dari atraksi wisata, promosi atau pemasaran, pasar wisata, transportasi, serta fasilitas dan pelayanan wisata. Pengembangan pariwisata memberikan dampak positif yang sifatnya langsung terhadap kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitar objek wisata.
Dampak yang signifikan yang dirasakan oleh masyarakat adalah terbukanya peluang usaha, peluang usaha tersebut terdiri dari usaha kuliner, usaha penginapan, usaha loundry, toko alat-alat surfing, toko cendera mata, toko kelontong, jasa sewa sepeda motor, jasa sewa guide/pemandu, cenderamata koki, perajin tradisional/industri kreatif UKM, pegawai hotel, supir travel.
Nilai tambah semacam itu terhenti sekonyong-konyong. Posisinya digantikan oleh ‘pariwisata digital’. Seperti dikatakan Minister of Tourism, Arts, and Culture Malaysia, Nancy Shukri, pandemi membawa peluang untuk mengubah industri pariwisata.
Yakni mempelajari hal-hal baru yang ditawarkan oleh teknologi digital. Hal baru yang dimaksud adalah berlangsungnya webinar, aplikasi e-commerce, dan para operator pariwisata yang menawarkan produk dan layanan yang bisa dipesan secara daring.
Salah satu jenis wisata yang mulai bergeliat di era digital ini adalah wisata staycation. Staycation berasal dari dua kata bahasa Inggris yakni stay dan vacation. Secara sederhana berarti liburan dengan tinggal atau menetap di suatu tempat. Berlibur dekat dengan rumah. Staycation diartikan sebagai kombinasi dari berlibur dan tetap berada di rumah. Meski terdengar membosankan, tetapi kamu bisa membuatnya menarik jika melakukannya dengan benar.
Namun ada juga orang-orang yang memilih untuk menginap di hotel selama staycation hanya untuk keluar dari rumah. Hotel yang dipilih biasanya masih berada dalam area tempat tinggal mereka. Berlibur di lingkungan yang berbeda Sama seperti berlibur sambil melancong, staycation mengarah pada relaksasi dan bersenang-senang. Staycation adalah gaya berlibur untuk fokus pada diri sendiri atau “me time”.
Dengan staycation, anda bisa membantu toko, restoran, dan penginapan setempat memperoleh keuntungan. Staycation juga hemat, karena tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk bensin atau tiket pesawat.
Kinerja industri pariwisata tetap akan bertumpu pada mobilitas perjalanan. Bergeraknya orang dari suatu tempat ke tempat lain. Tanda-tanda ke arah itu masih belum terlihat. Faktanya, lebih dari 40 maskapai penerbangan berhenti beroperasi di 2020.
Oktober 2020. Perusahaan data perjalanan internasional, Cirium, mencatat bahwa 43 maskapai penerbangan komersial telah “jatuh” sejak Januari tahun ini, dibandingkan 46 di sepanjang 2019 dan 56 di sepanjang 2018. Menurut definisi Cirium, maskapai itu telah sepenuhnya menghentikan atau menangguhkan operasionalnya.
“Tanpa intervensi dan dukungan pemerintah, maskapai penerbangan akan mengalami kebangkrutan massal dalam enam bulan pertama krisis ini,” kata analis independen Sobie Aviation, Brendan Sorbie. Morris mengatakan, “meski ada bantuan keuangan, prospek di sisa tahun 2020 tidak menggembirakan. “Kegagalan maskapai penerbangan biasanya terjadi dalam beberapa bulan terakhir tahun ini,”
Kuartal pertama dan keempat adalah masa yang paling sulit karena sebagian besar pendapatan dihasilkan di kuartal kedua dan ketiga. “Saya biasanya menggambarkan bahwa maskapai penerbangan menghabiskan musim panas seperti membangun ‘peti perang’, sehingga mereka dapat bertahan di musim dingin,” ujarnya.
Tujuan maskapai penerbangan saat ini hanya sekadar bertahan hidup. “Kami memperkirakan, akan lebih banyak maskapai yang menghentikan operasionalnya pada kuartal terakhir tahun 2020 dan setidaknya kuartal pertama 2021,” kata Sorbie. Dari 43 maskapai penerbangan yang di ambang kebangkrutan pada 2020, sebanyak 20 di antaranya mengoperasikan 10 pesawat, dibandingkan 12 di sepanjang 2019 dan 10 sepanjang 2018.
Sejauh ini, sekitar 485 pesawat tidak beroperasi dibandingkan 431 pada 2019 dan 406 pada 2018. Asosiasi Transportasi Udara Internasional mengatakan bahwa industri penerbangan akan menghabiskan US$77 miliar dalam bentuk tunai pada paruh kedua tahun 2020, dan terus mengalami pendarahan sekitar US$5 miliar atau US$6 miliar per bulan pada tahun 2021 karena melambatnya pemulihan. Medio 2020, asosiasi mengatakan lalu lintas penumpang kemungkinan baru akan kembali ke level 2019 pada 2024.●(dd)