octa vaganza

Apresiasi UU Koperasi Minus Pasal Dekopin

Menurut para pegiat koperasi, terdapat sejumlah kemajuan pada draf RUU Koperasi. Di antaranya pada pasal-pasal yang terkait dengan Definisi, Tujuan, Fungsi dan Bab baru tentang Nilai dan Prinsip yang sudah mengadopsi ratifikasi ICA.

NIAT baik Pemerintah dan DPR untuk mensyahkan draf RUU Perkoperasian menjadi UU pada 26 Agustus patut diapresiasi. Cukup lama masyarakat koperasi tidak punya landasan usaha legal sejak pembatalan UU No. 17/2012. Kehadiran UU tersebut akan menumbuhkan kepastian hukum sekaligus menuntun arah baru bisnis koperasi. Sejumlah pasal mengganjal bisa dianulir melalui Mahkamah Konstitusi.

Kesimpulan ini mengemuka dari sejumlah praktisi perkoperasian, yakni Ketua Koperasi Syariah Benteng Mikro Indonesia (Kopsyah BMI) Tangerang Kamaruddin Batubara; Ketua Pengawas KSP Sejahtera Bersama Bogor, Iwan Setiawan, Ketua KSP Nasari Semarang, Sahala Panggabean; Ketua Koperasi Pegawai Pemda DKI Jakarta, Hasanuddin; dan pengamat koperasi Djabaruddin Djohan.

Menurut para pegiat koperasi yang tergabung dalam Forum Komunikasi Koperasi Besar Indonesia (Forkom KBI), terdapat sejumlah kemajuan pada draf RUU tersebut. Di antaranya pada pasal-pasal yang terkait dengan Definisi, Tujuan, Fungsi dan penambahan Bab baru, tentang Nilai dan Prinsip yang sudah mengadopsi ratifikasi International Cooperative Aliance (ICA).

Kemajuan tersebut terlihat dari tercantumnya nilai-nilai koperasi dan nilai-nilai etika yang syarat dengan ajaran syariah. “RUU ini juga telah memiliki prinsip-prinsip yang sangat mencirikan jati diri koperasi, yaitu pasal 6 ayat (4d) tentang otonomi dan kemandirian, dan menyempurnakan prinsip-prinsip koperasi dalam pasal 6 ayat (4g) tentang “kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungan,” ujar Kamaruddin.

Namun, dukungan terhadap draf RUU tersebut harus dikecualikan dari pasal-pasal yang memuat perihal Dekopin. “Kita mendukung, dengan catatan pasal tentang Dekopin harus dihapus. Kita punya waktu dua tahun untuk memperjuangkan itu sebelum UU itu dinyatakan sah,” ujar peraih Satyalancana Wira Karya di Bidang Perkoperasian Tahun 2018 ini.

Ketua KSP Sahala Panggabean sepakat dengan Kamaruddin bahwa pasal-pasal mengenai peranan Dekopin tidak proporsional. “Kita harus mengkritisi Dekopin. Di situ ada kewajiban Pemda (Provinsi, Kab/Kota) mengalokasikan APBD-nya untuk Dekopin. Juga APBN. Ini sudah ngawur,” tuturnya. Djabaruddin Djohan menambahkan, di zaman reformasi seharusnya meniadakan ormas tunggal. UU ini justru memberi hak istimewa kepada Dekopin, yang selama ini tidak mampu mengangkat derajat koperasi Indonesia, baik di dalam negeri maupun di gerakan koperasi internasional. 

“Pasal tentang Dekopin dihapus saja, diganti dengan pasal tentang Organisasi Gerakan Koperasi, yang pembentukannya diserahkan sepenuhnya kepada gerakan koperasi,” ujar mantan Pemimpin Redaksi Majalah Pusat Informasi Perkoperasian itu. 

Ketua Pengawas KSP SB, Iwan Setiawan, menambahkan, UU Perkoperasian seharusnya tidak terlau jauh mengatur rumah tangga koperasi dan tidak melecehkan lembaga koperasi yang berada di bawah PT dan BUMN. Dia berharap pasal-pasal yang tidak relevan dengan usaha koperasi sebaiknya dihapus. Sedangkan Ketua KPPD, Hasanudin Bsy, menilai masalah kewajiban koperasi ke Dekopin tidak boleh ada unsur pemaksaan, karena koperasi bersifat sukarela. 

“Dekopin seyogianya tidak merupakan wadah tunggal. UU ini harus memberi ruang kepada koperasi untuk memilih wadahnya sendiri,” ujarnya. Pasal tentang pendirian koperasi yang menetapkan jumlah 9 orang juga harus dikritisi. Ini berpotensi kepemilikan koperasi dikuasai segelintir pemodal besar.●(dd)

Exit mobile version