
PeluangNews, Jakarta – Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) merilis Catatan Akhir Tahun 2025 sebagai refleksi kritis untuk mengawal marwah otonomi daerah.
Di tengah momentum kepemimpinan baru pasca-pelantikan kepala daerah serentak, Apkasi menilai otonomi daerah berada di titik krusial akibat menguatnya tren sentralisasi terselubung melalui regulasi sektoral yang kian mempersempit ruang diskresi kabupaten.
Ketua Umum Apkasi Bursah Zarnubi menegaskan, otonomi daerah bukan sekadar pembagian kewenangan administratif, melainkan mandat sejarah Reformasi 1998 untuk mendekatkan negara dengan rakyat. Ia mengingatkan, pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa pemusatan kekuasaan justru melahirkan ketimpangan dan inefisiensi birokrasi di daerah.
“Otonomi daerah adalah napas terakhir agenda Reformasi yang harus dijaga. Sepanjang 2025, kami melihat kebijakan nasional semakin rinci mendikte daerah, sementara diskresi bupati kian sempit. Indonesia hanya bisa maju jika daerah diberi kepercayaan dan keadilan fiskal, bukan sekadar menjadi pelaksana administratif pusat,” ujar Bursah yang juga Bupati Lahat.
Tekanan fiskal menjadi sorotan utama Apkasi sepanjang 2025
Pemangkasan Dana Transfer ke Daerah (TKD), penyesuaian Dana Alokasi Umum (DAU), serta ketidakpastian realisasi Dana Bagi Hasil (DBH) dinilai menciptakan paradoks kewenangan. Di satu sisi, daerah dituntut memenuhi Standar Pelayanan Minimal yang tinggi, namun di sisi lain ruang fiskalnya terus menyempit.
Apkasi mendesak pemerintah pusat menata ulang kebijakan transfer ke daerah agar lebih transparan dan mencerminkan kontribusi riil daerah terhadap penerimaan negara.
Keadilan fiskal dinilai semakin mendesak seiring melonjaknya belanja wajib, termasuk pembiayaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Apkasi mengusulkan agar gaji dan tunjangan PPPK sepenuhnya dibebankan kepada APBN demi menjaga stabilitas pembangunan dan layanan publik di kabupaten.
Ketimpangan kewenangan juga tercermin dalam tragedi banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Berdasarkan data resmi BNPB, bencana tersebut menyebabkan 1.140 orang meninggal dunia, 163 orang hilang, dan hampir 400 ribu warga mengungsi. Kerusakan infrastruktur meliputi ratusan ribu rumah, puluhan jembatan, serta ribuan fasilitas umum.
Menurut Apkasi, daerah kerap berada di garis terdepan penanganan bencana, namun tidak memiliki kuasa atas kebijakan hulu seperti pengelolaan hutan dan izin tambang.
“Daerah menanggung risiko dan nyawa rakyatnya, tapi kewenangan strategis ada di pusat. Ini ketimpangan struktural yang harus segera dikoreksi,” tegas Bursah.
Sebagai bentuk solidaritas, Apkasi menggerakkan program Apkasi Peduli Bencana dengan memobilisasi gotong royong pemerintah kabupaten, mitra, dan masyarakat untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan langsung ke wilayah terdampak.
Dalam aspek tata kelola, Apkasi juga menyoroti maraknya Operasi Tangkap Tangan terhadap kepala daerah. Apkasi mendukung penuh penegakan hukum, namun menilai fenomena tersebut tidak lepas dari persoalan sistemik seperti regulasi tumpang tindih dan tekanan politik.
Solusi yang ditawarkan meliputi penguatan pencegahan melalui sistem pengawasan internal, pendampingan berkelanjutan oleh KPK, serta penyederhanaan regulasi agar kepala daerah memiliki kepastian hukum.
Menutup Catatan Akhir Tahun 2025, Apkasi menaruh perhatian pada dinamika politik lokal pasca Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024. Apkasi mendesak pemerintah segera menyiapkan payung hukum transisi yang jelas untuk menjamin stabilitas pemerintahan selama masa jeda pemilu nasional dan daerah.
Melalui refleksi ini, Apkasi menegaskan komitmennya menjadi perisai bagi 416 kabupaten di Indonesia, serta terus menjadi mitra kritis pemerintah pusat agar otonomi daerah yang adil, bersih, dan bermartabat benar-benar terwujud.








