hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Hukum  

Apa Konsekwensi Perubahan Syarat Pendirian Koperasi dalam UU Cipta Kerja ?

Dengan akan berlakunya UU Omnibus Law yang di dalamnya terkait perihal koperasi, maka pendirian koperasi makin mudah, karena menurut UU “sapu jagat” ini cukup dengan sembilan orang saja. Apakah di balik kemudahan itu pemerintah tidak khawatir bahwa bakal ramainya orang mendirikan koperasi yang semata hanya berorientasi bisnis. Ini mungkin subjektivitas saya, namun pengalaman di masa lalu, era Menkop Adi Sasono, yang membuka kemudahan mendirikan koperasi ternyata hanya menyisakan koperasi papan nama.

Agus Nong

Pegiat Koperasi Maumere NTT

Jawab:

Saudara Agus Nong yang baik,

Pertanyaan anda mengenai berlakunya UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (omnibus law) dalam kaitannya dengan perkoperasian, sungguh aktual dan menarik. Karena UU ini disahkan DPR-RI pada 5 Oktober 2020 dan baru sebulan ditandatangani presiden, serta masih hangat dibicarakan, menimbulkan demonstrasi besar pada berbagai kota dan saat ini digugat ke Mahkamah Konstitusi.

Selain itu, UU ini juga mengundang kontroversi, termasuk di kalangan ahli hukum, di antaranya Prof. DR. Jimly Assiddiqie, SH yang mengingatkan perlunya menguji konstitusionalitas dari UU ini (harus sesuai dengan UUD 1945). Kontroversi terhadap UU omnibus law juga disebabkan karena model dan metode pembentukan 1 (satu) UU yang mengubah beberapa UU dan mengintervensi beberapa rezim hukum sekaligus, selama ini hanya terjadi di negara negara penganut sistem hukum common law (Anglo saxon) antara lain Amerika Serikat dan Canada.

Model dan metode Omnibus Law selama ini tidak dikenal dalam sistem hukum civil law (Eropa Kontinental) yang dianut oleh Perancis, Belanda dan negara negara bekas jajahannya, termasuk Indonesia. Selain itu, ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pembentukan UU model omnibus law ini tidak diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan yang masih berlaku sampai dengan saat ini.

Selanjutnya mari kita cermati ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang telah mengubah ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, dan mengubah syarat pendiri koperasi dari 20 orang menjadi 9 orang.

Pasal 86 UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengatur bahwa beberapa ketentuan dalam UU  No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menyatakan bahwa  Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

                                                Pasal 6

(1)          Koperasi Primer dibentuk paling sedikit oleh 9 (sembilan) orang.

(2)          Koperasi Sekunder…………….. dst.

Penjelasan pasal 86 Angka 1 yang mengubah  Pasal 6 Ayat (1) UU No 25 Tahun 1992 menyatakan bahwa persyaratan ini dimaksudkan untuk menjaga kelayakan usaha dan kehidupan Koperasi. Orang-seorang pembentuk Koperasi adalah mereka yang memenuhi persyaratan keanggotaan dan mempunyai kepentingan ekonomi yang sama.

Jika kita amati ketentuan Pasal tersebut, tampak bahwa ketentuan Pasal 86 angka 1 yang mengubah ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU No 25/1992 dengan penjelasan pasalnya tidak nyambung dan tidak jelas korelasinya. Perubahan syarat pendiri koperasi dari 20 (dua puluh) orang menjadi 9 (sembilan) orang tidak ada justifikasinya, dan Penjelasan Pasal tersebut tidak memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

Perubahan jumlah orang itu  mungkin bertujuan untuk memberikan kemudahan dan keringanan dalam mendirikan koperasi. Bukan untuk menjaga kelayakan usaha koperasi. Kelayakan usaha koperasi seharusnya dibuktikan dengan pemenuhan persyaratan pembuatan Rencana Kerja, paling sedikit selama 2 tahun ke depan. Oleh karena itu, sinyalemen Anda,  bahwa ketentuan yang mengubah syarat pendiri dari 20 orang menjadi 9 (sembilan) orang bertujuan untuk memudahkan orang dalam mendirikan koperasi adalah benar. Walaupun demikian, ketidak jelasan penjelasan pasal tersebut akan tetap menimbulkan pertanyaan; kenapa harus 9 (sembilan) orang? Kenapa tidak 15 (lima belas) orang atau 3 (tiga) orang atau 2 (dua) orang saja?

Persoalan berikutnya adalah soal kekhawatiran maraknya koperasi papan nama alias abal-abal. Mari kita merujuk pada peraturan yang terdapat dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 13 UU No 25 Tahun 1992.  Pasal ini mengatur ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengesahan atau penolakan pengesahan akta pendirian, dan perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya, ketentuan ini diatur dalam PP Nomor 4 Tahun 1994 tentang Persyaratan dan Tata cara Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) PP tersebut diatur bahwa untuk mendapatkan pengesahan terhadap akta pendirian Koperasi, para pendiri atau kuasa para pendiri mengajukan permintaan pengesahan secara tertulis kepada Menteri. Kemudian pada ayat (2) nya diatur bahwa permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dengan melampirkan :

a.            dua rangkap akta pendirian Koperasi, satu di antaranya bermaterai cukup;

b.            berita acara rapat pembentukan Koperasi, termasuk pemberian kuasa untuk

                mengajukan permohonan pengesahan apabila ada;

c.             surat bukti penyetoran modal, sekurang-kurangnya sebesar simpanan pokok;

d.            rencana awal kegiatan usaha Koperasi.

Bahasan mengenai pencegahan terjadinya koperasi papan nama tampaknya perlu paparan yang panjang. Namun, berdasarkan ketentuan PP 4/1994, dapat dikatakan bahwa pada saat koperasi disahkan sebagai badan hukum, maka koperasi tersebut sudah memenuhi persyaratan dan seharusnya sudah dijamin dapat langsung beraktivitas. Berita Acara Pembentukan dan Akta Pendirian Koperasi dapat membuktikan bahwa para pendiri sudah sepakat untuk membentuk badan hukum koperasi, telah mempunyai pengurus dan pengawas yang akan mengurus koperasi, serta telah memiliki aturan main yang jelas dan disepakati bersama untuk berkoperasi (Anggaran Dasar). Koperasi juga telah memiliki modal untuk melakukan aktivitasnya yang dibuktikan dengan bukti penyetoran modal koperasi. Selain itu, koperasi juga dapat langsung melakukan kegiatan usahanya sesuai rencana awal kegiatan usaha  telah dibuat.

 Pada beberapa dekade terakhir tampak bahwa persoalan internal koperasi, khususnya di bidang sumber daya manusia koperasi, yang sangat menonjol adalah persoalan nilai dan prinsip koperasi yang tidak diterapkan secara konsisten oleh pengurus, pengelola dan anggota koperasi, serta adanya oknum yang beritikad buruk terhadap koperasi. Masalah eksternal  yang menyebabkan koperasi tidak aktif dan hanya tinggal papan nama, umumnya karena kurangnya kebijakan pemerintah yang berpihak kepada koperasi, antara lain adanya kebijakan sektoral yang diskriminatif, tidak adanya kebijakan mitigasi risiko, kebijakan dalam aspek pendanaan, dan fasilitasi pajak kepada koperasi.

Itikad baik pemerintah yang ingin memberikan kemudahan berusaha di Indonesia merupakan keharusan dan patut kita hargai. Namun demikian, praktik patronage refund yang terjadi dalam kehidupan berkoperasi dan yang berdampak pada pemberdayaan anggota koperasi, mungkin belum banyak dipahami oleh para pengambil kebijakan di negeri ini. Pada sisi lain, pengembangan tata kelola berbasis jati diri koperasi dan keberlangsungan bisnis koperasi adalah keharusan bagi koperasi agar tidak menjadi  koperasi papan nama. Semoga semua permasalahan tersebut dapat kita atasi bersama dengan melibatkan stakeholder koperasi, sehingga badan hukum koperasi dapat menerapkan cara hidup berkoperasi yang sesuai dengan jati diri koperasi.

Salam,

UTB.

pasang iklan di sini