BANDUNG—Staf Pengajar Antropologi Universitas Padjadjaran Sadikin Gani mengungkapkan pandemi Covid-19 memberikan dampak pada semua industri, termasuk juga industri kreatif dengan 16 subsektornya. Dampak ekonomi yang ditimbulkan jauh lebih berat dibandingkan pada 1998.
“Kalau pada 1998 orang masih bisa bergerak dan menciptakan kreativitas, sementara pada masa pandemi orang tidak bisa bergerak hingga tidak bisa melakukan kreativitas,” ujar Gani dalam diskusi virtual “Antrop Ngonline”, Jumat (20/5/20).
Di antara subsektor kreatif yang terpukul ialah industri fashion, di mana terjadi penutupan toko dan para pekerja di rumahkan, sementara di hulu juga rantai pasokan terpengaruh. Penjualan menurun ke titik tidak ada penjualan atau pemasukan.
“Sebetulnya kejadian Covid-19 adalah puncaknya. Sejak 2016 sebetulnya industri fashion terjadi penurunan karena perubahaan konsumsi masyarakat terhadap fashion berbelanja dikurangi, mereka lebih suka produk diskon,” papar Gani.
Lanjut dia, bahkan pada 2018 sebanyak 9000 ritel di dunia gulung tikar. Hal ini menjadi semakin parah di pandemi Covid-19.
“Solusinya merespon kebutuhan masker dan APD. Mereka memigrasikan bisnis ke online, digitalisasi, walau perdagangan tidak sebesar sebelum Covid. Namun langkah ini menjadi penyelamat sementara,” ungkap Gani.
Selain itu industri fashion punya masalah yaitu jadi penyumbang sampah terbesar dan juga ada tuntutan pada kemanusiaan. Kesadaran konsumen terhadap dua hal ini ke depannya akan jadi tuntutan yang harus dipenuhi industri fashion.
Kesadaran ini muncul setelah kejadian runtuhnya pabrik garmen di Bangladesh pada 2014 yang menewaskan 70 orang.
“Sudah ada kesepakatan di antara berapa brand besar untuk transparan, berapa alokasi uang yang dibayarkan konsumen untuk buruh hingga bagaimana mereka mendapatkan bahannya apakah ramah lingkungan atau tidak,” paparnya.
Konsumen semakin sadar bahwa fashion itu produk kolektif. Produk desainer yang hebat pun tidak akan jadi kalau tidak ada buruhnya. Di Indonesia ramah lingkungan dipahami berlapis. Ada yang hanya yang memahami pewarna alam walau itu tidak lepas juga dari sampah.
“Setelah itu organik baru naik level suistanable, kalau diketahui bahannya dari mana, dibuat oleh siapa, berapa banyak habiskan bahan bakar, itu dihitung. Ada lembaga yang akan menghitung,” imbuhnya.
Gani menganjurkan untuk tahap awal, produsen pakaian paling tidak memperhatikan upah pekerja paling minimal. Kalau itu diinformasikan konsumen lebih respek terhadap transparansi.
“Kalau total suistanble, saya berani jamin 99 persen pelaku fashion tidak akan sanggup memenuhi itu,” tambahnya.
Gani menganjurkan semua pelaku industri kreatif terutama anak muda masuk ranah digital karena semua pengetahuan ada di situ.
“Ke depannya industri kreatif fashion pasca pandemi akan dituntut untuk lebih manusiawi dan ramah lingkungan,” pungkasnya (van).