Anomali

Seorang tokoh koperasi senior mengaku pernah dapat pelajaran dari Bung Hatta tentang tiga model orang yang bersemangat bicara soal koperasi. Pertama, pejabat pemerintah yang membidangi koperasi. Kedua, Cendekiawan yang tengah mengkaji ekonomi gotong royong, dan ketiga, pelaku atau kader koperasi. Yang pertama, suatu saat bisa berhenti bicara koperasi jika pindah ke instansi lain. Begitu juga cendekiawan bisa berpaling pada kajian ilmu lain yang lebih laku pasar. Tetapi untuk jenis orang yang ke tiga, biar dihadang ombak besar dan batu karang, tak akan minggir mempertahankan jati diri koperasi. 

Saya menambah referensi orang ke empat yang secara sporadis lebih semangat bicara koperasi, yaitu politisi. Terlebih saat tiba musim kampanye, nama koperasi pasti muncul sebagai kecap penyedap kampanye pemberdayaan ekonomi rakyat.

Kendati tegas ditahbiskan sebagai lembaga ekonomi rakyat yang bebas muatan politis, toh dalam perjalanannya kita simak begitu kuatnya orang-orang koperasi berafiliasi atau tepatnya terjerat iming-iming partai tertentu.

Dalam konteks pasang surut perjalanan partai di negeri ini, posisi koperasi seperti sering diungkapkan Bung karno, tampil sebagai machtsvorming (penggalangan masa) di lapis grassroots. Di era 1950-an, gerakan koperasi menjadi basis massa Partai Nasional Indonesia (PNI). Kemudian pada 1960-1965 sangat akrab dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Penggalangan koperasi sebagai basis massa dimanfaatkan PKI dengan mendongkrak jumlah koperasi secara massif. Jika pada 1959 jumlah koperasi tercatat sekitar 16.900 unit, pada 1965 naik hingga 70.000 unit. Ironisnya, ketika PKI dibubarkan pada 1966, jumlah koperasi pun anjlok drastis, hanya tersisa 14.700 unit.

Penguasa berikutnya mengulangi masalah yang sama dan seolah tak peduli dengan fungsi ekonom koperasi. Di masa Orde Baru (Orba), koperasi diekspolitasi sebagai garda depan penjaringan suara massa. Waktu itu Golkar berkuasa, dan warna kuning kemudian menjadi identik dengan pakaian petani di pedesaan. Harus diakui peran koperasi plus pegawai negeri yang dipaksa berpartai sangat dominan dalam melanggengkan kekuasaan Golkar selama tiga dasa warsa.

Tidak cukup dengan tekanan politik yang begitu kuat, kiblat perkoperasian mengalami pergeseran yang membingungkan. Sejak lahirnya koperasi serba usaha di pedesaan atau dikenal dengan KUD, penggolongan koperasi pun bertambah, Jika dalam literatur, hanya kita kenal koperasi konsumen, produsen, dan jasa, belakangan muncul koperasi yang disebut fungsional. Keanggotaannya mengacu pada batasan kelompok atau lembaga tertentu, misalnya pemuda, wanita, masjid, pesantren, karyawan atau militer dan polisi. Boleh saja kita menyebut telah terjadi anomali (keganjilan) dalam perkembangan koperasi, tetapi agaknya sah-sah saja. Pemerintah tidak ambil pusing, dengan orang-orang koperasi dan Dewan Koperasi Indonesia sebagai lembaga yang memfasilitasi dan mengadvokasi koperasi juga tidak peduli.

Menempatkan koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat kiranya baru sebatas visi dan misi, alih-alih prioritas. Kebijakan ekonomi kita (sejak 1966) lebih memberi peran kepada asing terutama etnis Cina. Robert W Hefner dalam bukunya Budaya pasar, menulis para penguasa Orba memberikan perlakuan istimewa kepada modal Cina karena sebagai pengusaha minoritas, mereka mustahil protes jika terjadi perampasan keuntungan oleh para pejabat pemerintah.

Apakah gerakan koperasi kita tetap kokoh pada jati dirinya atau ikut larut dengan tuntutan zaman? Saya agak sulit menemukan jawab. 

Seperti saya ingat maklum dengan ucapan Jean Paul Sartre yang tak pernah paham dengan  Das Kapital. Buku itu, kata filosof Perancis itu, tidak mengajarkan sesuatu. Sebaliknya, ia justru  tersadarkan oleh gemuruh mesin pabrik dan keresahan kaum buruh. Di tengah ketidakberdayaan kaum papa, ia menemukan sebuah realitas marxisme.

Exit mobile version