
Peluang News, Jakarta – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyoroti pernyataan dari Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra mengenai Peristiwa Mei 1998.
Dalam pernyataannya, Yusril menilai, peristiwa Mei 1998 tidak termasuk ke dalam kategori pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.
Padahal, menurut Usman, pernyataan itu merupakan pernyataan yang keliru dan tak sepantasnya dikeluarkan oleh pejabat pemerintah.
“Apalagi dari pejabat yang salah satu urusannya soal legislasi bidang HAM. Itu tidak mencerminkan pemahaman undang-undang yang benar, khususnya pengertian pelanggaran HAM yang berat pada penjelasan Pasal 104 Ayat (1) dari Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM maupun Pasal 7 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM,” kata Usman kepada Peluang News, Selasa (22/10/2024).
“Pernyataan itu juga mengabaikan laporan-laporan resmi pencarian fakta tim gabungan bentukan pemerintah dan penyelidikan pro-justisia Komnas HAM atas sejumlah peristiwa pada masa lalu yang menyimpulkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against humanity,” tambahnya.
Dia menerangkan, pelanggaran HAM yang berat menurut hukum nasional bukan hanya genosida dan pembersihan etnis.
“Menurut hukum internasional, setidaknya ada empat kejahatan paling serius yaitu genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi, sebagaimana diatur oleh Pasal 51 Statuta Roma,” terang Usman.
“Bahkan, hasil-hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut juga sudah diserahkan ke Jaksa Agung. Ini sudah menjadi fakta awal hukum yang tidak bisa dibantah, kecuali oleh peradilan yang fair dan adil. Setidaknya oleh pengadilan ad hoc yang memeriksa pelanggaran HAM yang berat masa lalu tersebut. Sayangnya tak kunjung ada usul DPR dan keputusan Presiden, sesuai Pasal 43 UU Pengadilan HAM,” sambungnya.
Dengan demikian, maka pernyataan dari Yusril itu bukan hanya tidak akurat secara historis dan hukum tapi juga menunjukkan sikap nir empati pada korban yang mengalami peristiwa maupun yang bertahun-tahun mendesak negara agar menegakkan hukum.
Bahkan, tragedi Mei 1998 telah menyisakan luka mendalam bagi mereka yang kehilangan orang-orang tercinta akibat kekerasan massal, perkosaan, dan pembunuhan yang menargetkan kelompok etnis tertentu, khususnya komunitas Tionghoa pada saat itu.
“Terlebih, hal ini disampaikan pada hari kerja pertama Yusril. Ini sinyal pemerintahan baru yang mengaburkan tanggung jawab negara terutama pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu,” ujar Usman.
“Padahal, meskipun pemerintahan yang lama juga pernah menyangkal, namun pada akhirnya mau mengakui bahwa terdapat 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM yang berat, termasuk Tragedi Mei 98,” imbuhnya.
Sebelumnya, pada hari pertama duduk sebagai Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM berat selama beberapa tahun terakhir.
“Pelanggaran HAM yang berat itu kan genocide, massive killing, ethnic cleansing, tidak terjadi dalam beberapa dekade terakhir, mungkin terjadi justru pada masa kolonial ya, pada waktu awal perang kemerdekaan. Tapi dalam beberapa dekade terakhir ini hampir bisa dikatakan tidak ada kasus-kasus pelanggaran HAM berat,” tuturnya.
Sementara itu, Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra mengklarifikasi pernyataannya tentang tragedi atau peristiwa 1988.
Kali ini, ia merasa pernyataannya kemarin disalahpahami. Oleh karena itu ia kembali menjelaskan pernyataan tersebut dan mengatakan, dirinya cukup paham mengenai pengadilan HAM di tanah air.
“Untuk kemarin itu tidak begitu jelas apa yang ditanyakan kepada saya apakah terkait masalah genocide atau kah ethnic cleansing? Kalau memang dua poin itu yang ditanyakan, memang tidak terjadi pada waktu 1998,” ucap Yusril di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (22/10/2024).
“Karena tentu saya paham hal-hal yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat yang diatur dalam Undang-Undang Pengadilan HAM kita sendiri,” lanjutnya.
Dia menilai, hal tersebut merupakan hal yang harus dibahas dan dikoordinasikan bersama dan menegaskan, pemerintahan Prabowo Subianto mempunyai komitmen yang tinggi dalam melaksanakan hukum dan keadilan di tanah air.
“Jadi itu sesuatu yang perlu kita bahas dan kita koordinasikan bersama-sama, tapi tentu kita memiliki suatu keyakinan yang teguh bahwa pemerintah ini, di bawah kepemimpinan Pak Prabowo Subianto ini mempunyai komitmen yang teguh dalam melaksanakan hukum dan keadilan,” pungkasnya.