Site icon Peluang News

Amnesti Hasto dan Abolisi Tom: Prabowo Hapus Bayang-bayang Jokowi?

Warga Jakarta berharap era Prabowo Peluang Lapangan Kerja Besar
Ilustrasi: Pengambilan sumpah Presiden RI/dok.mpr

PeluangNews, Jakarta – Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong. DPR pun setuju. Keduanya selama ini dianggap korban kriminalisasi politik mantan presiden Jokowi.

Pemberian amnesti dan abolisi memantik beragam respon. Pro dan kontra, biasa. Sebagian (besar) memberi apresiasi. Ini adalah upaya Prabowo menegakkan hukum dan keadilan. Derivatif dari apresiasi ini adalah harapan yang kembali menyala. Prabowo sedang menghapus bayang-bayang Jokowi?

Tapi sebagian kalangan menilai langkah tersebut bukan keputusan hukum biasa. Ini adalah manuver politik strategis yang sarat makna, sekaligus menyisakan sejumlah tanda tanya. Apakah ini niat tulus memperbaiki hukum? Atau sekadar trik kekuasaan untuk bermain cantik terhadap kekuasaan lama?

Amnesti adalah pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan oleh kepala negara kepada sekelompok orang atau individu tertentu yang telah melakukan tindak pidana tertentu. Sedangkan abolisi adalah penghapusan atau pembatalan penuntutan pidana terhadap seseorang sebelum putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) dikeluarkan. Diberikan oleh kepala negara untuk menghentikan proses hukum yang sedang berjalan. Biasanya karena alasan kemanusiaan, politik, atau kepentingan negara. Keduanya hak prerogatif Presiden, tapi wajib dengan persetujuan DPR. Di atas kertas, ini tampak legal. Tapi dalam dunia politik, tak ada yang netral. Termasuk urusan hukum.

Dosa kepada Jokowi

Nama Hasto dan Tom Lembong tak asing dalam peta perburuan politik rezim sebelumnya. Hasto, Sekjen PDIP, terus-menerus diperiksa dan diseret dalam kasus Harun Masiku. Gaya KPK yang menyita HP dan dokumen Hasto memunculkan pertanyaan besar: apakah ini murni proses hukum, atau proyek kekuasaan?

Tom Lembong, ekonom jebolan Harvard. Dia juga tokoh penting di tim Anies saat pilpres. Tom dibidik karena vokal mengkritik proyek IKN. Dia juga menyebut proses legislasi UU IKN terburu-buru, minim transparansi, dan kurang melibatkan partisipasi publik. Tom menyatakan investor ragu berinvestasi di IKN karena ketidakpastian masa depan IKN pasca Jokowi.

Selain itu, Tom diketahui mengkritik kebijakan hilirisasi nikel yang dianggapnya terlalu dipaksakan. Ini menyebabkan anjloknya harga nikel global. Eksploitasi ugal-ugalan juga melahirkan risiko kehabisan cadangan nikel dalam jangka pendek.

Tapi dosa Tom terbesar kepada Jokowi, karena dia menjadi Co-Captain Tim Nasional Pemenangan Anies-Muhaimin pada Pilpres 2024. Pilihan ini dimaknai sebagai perubahan sikap politik dari mantan sekutu Jokowi menjadi lawan politik. Jokowi tidak suka dilawan dan atau ada yang melawan.

Maka ketika Prabowo memunculkan wacana amnesti dan abolisi bagi mereka, banyak pihak menyambutnya sebagai angin segar. Puja puji mengalir deras. Tapi baiknya euforia disimpan dulu. Karena politik dan politisi selalu punya dua panggung. Panggung depan dan belakang. Di depan untuk konsumsi publik. Panggung belakang, tempat segala deal, kesepakatan, kongkalikong dan seabreg niat tersembunyi lain. Itukah sebabnya si Manusia Merdeka Said Didu mengingatkan, agar selalu menyisakan ruang ketidakpercayaan kepada politikus?

Langkah Prabowo memberikan amnesti dan abolisi kepada Hasto dan Tom bisa dibaca sebagai upaya memutus bayang-bayang Jokowi. Dengan membebaskan tokoh-tokoh yang ‘dimusuhi’ Jokowi, Prabowo seolah menyampaikan pesan bahwa dia bukan pelanjut politik dendam. Prabowo adalah pemimpin baru yang mengedepankan rekonsiliasi. Dia sedang menciptakan jarak dengan patron lamanya yang mulai kehilangan legitimasi. Baik secara simbolik maupun praktis.

Namun publik tak boleh naif. Ini juga bisa jadi politik dua kaki: satu kaki menapak di atas pencitraan demokratis. Satu kaki lain tetap berpijak di atas sistem represif lama. Aroma seperti ini bisa terendus dari sejumlah indikator.

Antara lain, tak ada evaluasi terhadap lembaga hukum yang digunakan Jokowi untuk membungkam kritik (KPK, kepolisian, kejaksaan). Tak ada pergantian aktor-aktor hukum lama yang loyal pada Jokowi. Tak ada pernyataan jelas bahwa rezim sebelumnya telah menyalahgunakan hukum untuk kepentingan politik.

Tentu saja, sangat sulit berharap Prabowo menepis sejumlah indikasi tadi dengan tindakan nyata. Tapi, publik melihat satu hal yang terang-benderang. Struktur pelaku tetap aman, hanya korban elite tertentu yang dibebaskan. Ini bukan reformasi. Ini hanya semacam tambal sulam politik agar kekuasaan tampak elegan.

Lebih dari itu, publik juga mencium aroma deal pragmatis. Terhadap PDIP misalnya. Amnesti untuk Hasto adalah jembatan rekonsiliasi. Prabowo mungkin sedang membuka (kembali) pintu koalisi dengan Megawati. Atau setidaknya upaya menetralisasi Megawati agar PDIP tidak jadi oposisi frontal.

Sementara kepada kubu Anies, abolisi bagi Tom Lembong bisa dimaknai sebagai sinyal terbuka. “Kita bisa berdamai. Mari bergabung.” Ini sejalan dengan pola lama: rangkul semua elite, tutup celah konflik, dan amankan kekuasaan. Bukankah 1.000 kawan terlalu sedikit dan satu musuh terlalu banyak? Namun khusus pada konteks Tom-Anies, tampaknya diperlukan lebih banyak sinyal agar lebih masuk akal.

Kriminalisasi Massal, Bagaimana?

Tapi, rakyat di mana? Di tengah perayaan elite, rakyat tetap terluka. Selama hampir satu dekade, kita menyaksikan kriminalisasi terhadap aktivis, ulama, mahasiswa, hingga dosen. Banyak dari mereka tak punya privilege seperti Hasto atau Tom. Banyak korban kriminalisasi Jokowi hanya karena perbedaan pilihan politik atau mengritik nya.

Maka, sebaiknya publik jangan langsung percaya. Rakyat harus tetap waspada. Jangan sampai dua nama dibebaskan, lalu dianggap sudah selesai. Prabowo harus buktikan, amnesti dan abolisi yang diberikan karena unsur kemanusiaan, penegakan keadilan, dan menghentikan kezaliman penguasa sebelumnya. Bukan deal-deal pragmatis bermuara kekuasaan, semata.

Yang harus Prabowo lakukan adalah bongkar dan bersihkan lembaga hukum yang jadi alat kekuasaan. Ganti aktor-aktor busuk yang menjadi algojo rezim sebelum Jokowi. Pulihkan semua korban. Bukan hanya mereka yang dekat dengan elite kekuasaan.

Prabowo punya peluang langka untuk benar-benar mencatat sejarah. Tapi semua tergantung: apakah dia akan memilih jalan sebagai pembebas. Atau sekadar pewaris sistem lama dengan gaya yang lebih ramah kamera.

[Penulis, Edy Mulyadi, Wartawan Senior, tinggal di Jakarta]

Exit mobile version