octa vaganza

AMBTENAAR

Trikotomi priyayi, santri dan abangan itu ditabuh Clifford Geertz dalam bukunya The Religion of Java, terbit tahun 1960. Ia sekadar mendeskripsikan golongan tertentu di tengah masyarakat feodal Jawa, namun tak pelak implikasi riset dari desa Modjokuto, Jawa Timur itu kerap menimbulkan konflik dan polarisasi sosial yang tajam. Kaum abangan identik dengan sinkretisme, banal, yang direpresentasikan melalui kalangan pedagang dan petani perdesaan. Kaum santri lekat dengan para penganut ajaran Islam fanatik, biasanya bermukim dalam satu komunitas atau pesantren.

Jauh sebelum Geertz mengelaborasi tipologi manusia Jawa dalam dialektika sosial dan budayanya, status priyayi sudah menemukan tempat istimewa sebagai kalangan bangsawan dan cerdik pandai. Lantaran itu, kolonial Belanda mempertajam polarisasi dengan hanya memilih priyayi sebagai kalangan pribumi yang layak untuk mengisi jabatan administrasi birokrasi. Para aparat pegawai pemerintah kolonial atau lebih bergengsi dengan sebutan ambtenaar, mematut diri dengan penampilan necis, berbusana ala Eropa, sekaligus menegaskan status terhormat bahwa ia berbeda dengan santri dan abangan, golongan pinggiran yang mengais hidup di luar kantor pemerintahan. 

Bagi masyarakat feodal Jawa, bekerja sebagai ambtenaar adalah pengakuan yang setara dengan trah priyayi. Maka beralasan jika kalangan pedagang maupun petani kaya bakal mati-matian menyekolahkan anak-anaknya agar melek huruf dan pandai sehingga bisa diterima sebagai ambtenaar, pegawai pemerintah.  

Dalam novelnya, Student Hidjo (1918) Mas Marco Kartodikromo mengurai konflik budaya feodal itu melalui penokohan Raden Mas Potronojo, pedagang sukses yang mengirim anaknya, Hidjo untuk menimba ilmu di Belanda. “Saya hanya seorang pedagang. Kamu tahu sendiri waktu ini, orang seperti saya masih tetap dipandang rendah oleh orang-orang yang menjadi pegawai government. Kadang saudara kita sendiri, yang juga turut menjadi pegawai government, tidak mau kumpul dengan kita. Sebab dia pikir derajatnya lebih tinggi dari kita,” kata Potro kepada istrinya. Lantaran perlakuan tidak adil itulah Potro mengirim Hidjo sekolah ke Belanda, karena kelak ia akan kembali ke Jawa dengan status pelajar lulusan Eropa yang akan mengangkat derajat keluarga.    

Hidjo merupakan generasi muda awal abad 20 yang menikmati kemurahan politik balas budi (ethische politiek) Belanda. Untuk membayar sumber alam yang ratusan tahun dikeruk dari bumi nusantara, Kolonial Belanda menyulap publikasi melalui ethische politiek bahwa mereka bangsa yang tahu berterima kasih. Maka pendidikan untuk kaum pribumi berlangsung masif. Tetapi kita tahu, program populis itu hanya mencari tenaga kerja administrator yang murah alih-alih mencetak siswa didik yang cerdas. Sekolah sebagai proses memasuki dunia kerja nyaris tak mengubah prilaku siswa untuk berpikir kritis.

Saat Bung Hatta bergabung dengan Indische Vereeniging tahun 1921, perhimpunan mahasiswa Indonesia di Belanda, ia sempat shock. Perhimpunan mahasiswa yang tentu saja anak-anak pejabat dan pedagang kaya itu tak lebih dari sekadar tempat kongkow sambil dansa dansi dan diselingi minuman keras. Tak tercium adanya aroma kesadaran menuju Indonesia merdeka, sebelum kemudian Hatta, Tjipto Mangunkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat mengubah perhimpunan itu menjadi Indonesische Vereeniging di tahun 1926.

Sementara itu  jumlah mahasiswa lainnya -seperti Hidjo- terus berdatangan, dengan orientasi merubah gengsi keluarga, dan hidup layak sebagai ambtenaar. Hingga hari ini, orientasi pendidikan formal kita yang bernama sekolah memang hanya melatih anak didik menjadi pegawai, bekerja di kantor pemerintahan atau direktur di sebuah perusahaan bonafid, mengantongi gaji tinggi dan jaminan pensiun. Mereka, kata Robert Kiyosaki, dalam Cash Flow Quadrant adalah para pemain di quadran kiri yang menghindari risiko dan berupaya mempertahankan zona aman. Sebaliknya, di quadran kanan adalah kalangan pebisnis dan investor profesional yang melihat risiko sebagai tantangan yang harus ditaklukan. Keterampilan seperti ini yang kata Stephen Covey adalah para pemikir dengan otak kanan, kreatif dan visual.

Sayangnya, kita masih hidup dalam dunia yang masih didominasi oleh otak kiri dimana kata-kata, ukuran dan logika berkuasa.   (Irsyad Muchtar)   

Exit mobile version