hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Opini  

Ambiguitas Regulasi Koperasi

Saat ini, perkembangan Teknologi Informasi (TI) telah mengubah perilaku dan persepsi tentang banyak hal. Lebih-lebih setelah terjadi pandemic covid-19, ada kewajiban jaga jarak atau social distancing yang dijawab dengan berbagai aplikasi berbasis internet sebagai moda baru dalam berinteraksi dan bertransaksi. The Internet of Everying seakan menjadi doktrin baru yang mengikat dan mengikuti setiap langkah kita. Semua harus dilakukan secara online dengan basis internet.

UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah pula membuka ruang pemanfaatan TI bagi koperasi, setidak-tidaknya dalam penyelenggaraan Rapat Anggota. Pasal 86 undang-undang tersebut telah mengubah materi muatan Pasal 22 UU Nomor 25 Tahun 1992 dengan menambahkan ketentuan yang membolehkan penyelenggaraan Rapat Anggota secara daring atau online.  Dengan adanya ketentuan ini, rapat anggota tetap bisa diselenggarakan dan berlangsung efektif pada masa pandemi. Hingga seorang ketua salah satu induk koperasi mengatakan, dalam satu hari bisa menghadiri beberapa kali rapat anggota pusat koperasi maupun koperasi primer di berbagai daerah dengan cara ini.

Suka-tidak-suka, saat ini UU 11/2020 sudah efektif berlaku. Demikian pula dengan pasal-pasal UU 25/1992 yang diubah melalui UU 11/2020. Sesuai dengan asas lex posteriori derogate legi priori, hukum terbaru mengesampingkan hukum lama. Kecuali Mahkamah Konstitusi nanti mengabulkan gugatan dari pihak-pihak yang mengajukan uji formil maupun uji material terhadap ketentuan tersebut.

Kita tidak menutup mata adanya ekses transaksi online yang merugikan masyarakat. Sebut saja berkembangnya pinjaman online (pinjol). Dimulai dari tawaran pinjaman dengan proses cepat dan tanpa agunan melalui SMS. Setelah direspon dan terjadi transaksi, peminjam pun terjebak dalam skema pinjaman dengan potongan fee, suku bunga dan denda yang sangat tinggi. Hal ini ternyata diikuti dengan adanya penjualan badan hukum Koperasi Simpan Pinjam (KSP) kepada investor asing dari salah satu pengelolanya. Padahal itu jelas dilarang.

UU 11/2020 memang mengubah ketentuan syarat minimal jumlah orang yang mendirikan koperasi primer dalam UU 25/1992, dari 20 orang menjadi 9 orang. Namun ketentuan Pasal 17 UU 25/1992 yang menyatakan Anggota Koperasi adalah pemilik dan sekaligus pengguna jasa Koperasi tetap berlaku. Ditegaskan lebih lanjut dalam pasal 18, yang dapat menjadi anggota Koperasi ialah setiap warga negara Indonesia yang mampu melakukan tindakan hukum.

Hanya perlu komitmen dan kemampuan dari pemangku kebijakan untuk menegakkan ketentuan tersebut. Tentunya didukung sarana pendukung dan peningkatan kemampuan dalam menghadapi kecanggihan teknologi digital ini. Untuk mengurangi beban kerja yang berat ini, tentu perlu kerjasama dengan K/L lain dan pemangku kepentingan lain, seperti pers, pegiat media sosial dan berbagai elemen yang ada dalam gerakan koperasi.

Permasalahan pinjol ini ikut mewarnai diskusi tentang Pengembangan Desa Cerdas pada sessi Ekonomi Cerdas sebagai salah satu pilarnya yang berlangsung pada awal November lalu. Desa Cerdas adalah desa yang memanfaatkan teknologi digital dalam pengembangan solusi pembangunan desa secara partisipatif, inklusif, dan berbasis lokal. Solusi yang ditawarkan melalui peningkatan literasi digital agar masyarakat mengerti modus dan mewaspadai bahaya pinjol ini.

Koperasi pun tentunya bisa dianggap sebagai Koperasi Cerdas bila memanfaatkan teknologi ini. Barangkali karena sudah Cerdas, beroperasi dengan kecerdasan artificial, lebih-lebih bila ditambah kecerdasan spiritual dengan branding syariah, maka menjadi produk unggulan yang layak dijual kepada asing. Wallahu alam.

Penulis adalah pemerhati perekoperasian aktif di Dewan Koperasi Indonesia

pasang iklan di sini