DEPOK—-Diam-diam kota tetangga Jakarta ini punya potensi batik tulis yang jarang terungkap. Padahal motif golok, topeng, gong dan belimbing dengan pewarnaan alam tak kalah mempunyai daya tarik dengan batik dari Jawa Tengah dan Timur.
Salah seorang yang menyadari potensi itu ialah seorang ibu rumah tangga di Depok bernama Ambar Lulis. Sejak enam tahun yang lalu perempuan yang pernah punya usaha mengelola kantin di UI selama 15 tahun ini belajar membatik.
“Sekalipun yang memberikan inspirasi dan dorongan adalah suami saya yang mengingatkan prospek batik bisa berlangsung sepanjang masa,” ucap Ambar kepada Peluang, Jumat (29/9/2018) seraya mengatakan modal produksi awal Rp30 juta.
Ketua Komunitas Batik Depok ini mengaku produksi awalnya hanya beberapa lembar, karena ia belajar membatik dari pewarnaan alam, yang sudah sesuai dengan kaidah WHO. Berbeda dengan warna kimia, pewarnaan alam tidak menyebabkan alergi pada kulit.
“Hanya saja prosesnya memang sangat rumit dan lama,” kata Ambar, yang menyebutkan pemasarannya awalnya pada keluarga besar yang berminat.
Ambar kemudian bergabung dengan Smesco belajar membuat bazaar. Tekadnya terus belajar untuk menggiatkan batik di Depok. Selain membentuk Komunitas Batik Depok, Ambar rajin berkampanye dan ikut fashion show. Akhirnya upayanya didukung Pemerintah Kota Depok, terutama Dekranasda.
“Produksi bergantung permintaan. Saya pernah mengalami omzet tertinggi ketika Dekranasda meminta pengadaan kain motif saya untuk acara MTQ se-Jawa Barat di Depok,” ungkap dia.
Ambar menuturkan, dia memilih brand Puri Ambary sesuai dengan visi dan misi, melestarikan budaya asli Indonesia dan memperkenalkan memajukan batik Depok. Brand itu mempunyai arti tempat belajar dan berkarya.
“Kalau ditanya suka atau duka. Sukanya karena kami berhasil memboomingkan di Depok ada batik. Beberapa motif bahkan menjaid hak milik Kota Depok,” lanjut dia.
Dukanya mereka yang membeli batik maish beranggapan batik itu mueah. Mereka terkejut dan bingung mengapa mahal. Harga batik pewarnaan alam Depok itu ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah per lembarnya.
“Hingga saat ini kami masih belum membuat secara massal. Ke depan kami akan meningkatkan produksi dan omzet,” pungkas Ambar (Irvan Sjafari).