Alarm Serius, Aset BUMN Tak Cukup Tutupi Utang

Menjadi pertanyaan akuntabilitas fiskal di tengah sistem pemerintahan yang selalu berganti, tetapi mewariskan beban yang sama dari tahun ke tahun. Harus ada solusi menyeluruh dan reralistis.

Nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah hingga mendekati level terendah sejak krisis moneter 1998. Nilai tukar rupiah melemah sebesar 14 poin atau 0,08 persen menjadi Rp16.676 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.562 per dolar AS. Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, menegaskan anjloknya mata uang rupiah ini mengingatkan publik pada krisis moneter 1998. Tak sedikit kritisi yang menilai, kondisi ekonomi Indonesia saat ini lebih buruk dibandingkan dengan 27 tahun lalu.

Pada tahun 1998, ketika rupiah berada di posisi Rp16.650 per dolar, total utang luar negeri kita hanya sekitar US$ 70 miliar, atau setara Rp1.165 triliun. “Sekarang, dengan kurs yang sama, utang luar negeri kita sudah tembus US$500 miliar, yaitu sekitar Rp8.325 triliun. Naik tujuh kali lipat,” ujar Hardjuno. Menurut dia, fakta tersebut menunjukkan bahwa rupiah saat ini belum mencerminkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia secara jujur.

Artinya, nilai tukar yang terlihat sekarang bisa jadi belum merepresentasikan tekanan riil terhadap rupiah. Bahkan mungkin masih terlalu kuat dibandingkan kenyataan,” katanya. Kandidat doktor Bidang Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga (Unair) ini juga menyinggung holding strategis BUMN Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dengan aset hingga Rp10.000 triliun. Meski angka asetnya terkesan besar, nilainya tidak signifikan jika dibandingkan dengan total utang luar negeri Indonesia saat ini.

Aset terbaik kita seperti Danantara saja belum tentu cukup untuk membayar seluruh utang luar negeri yang sudah mencapai Rp8.325 triliun (US$500 miliar). Ini mengkhawatirkan. “Kalau aset andalan negara tidak bisa menutup utang, artinya kita harus hati-hati banget,” ujarnya. Lebih lanjut, Hardjuno mengkritik pendekatan pemerintah yang selama ini terkesan membiarkan utang menumpuk tanpa ada strategi pelunasan yang jelas. Padahal, utang itu harus dibayar. Kalau kita tidak bisa bayar, artinya memang tidak mampu. Maka harus ada jalan keluar. Ini tidak bisa terus-menerus dibiarkan seperti sekarang.

Ia mempertanyakan akuntabilitas fiskal di tengah sistem pemerintahan yang selalu berganti, tetapi mewariskan beban yang sama dari tahun ke tahun. “Kalau semua menteri berganti, siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Masalah utang ini sudah jelas-jelas bermula dari Obligasi Rekap BLBI yang terus diabaikan. Itu akar persoalannya,” ujarnya. Meski demikian, Hardjuno mengapresiasi langkah Presiden Prabowo Subianto yang baru-baru ini memangkas anggaran negara. Keberanian Prabowo ini sesuatu yang belum pernah terjadi di era pemerintahan sebelumnya.

Meski begitu, kebijakan pemangkasan anggaran ini belum cukup efektif tanpa dibarengi dengan langkah lanjutan. Diakui bahwa itu langkah bagus. Tapi setelah itu bagaimana? Harus ada rencana besar yang konkret dan berani. Bukan sekadar reaksi jangka pendek. Lebih jauh Hardjuno menyerukan pentingnya dialog nasional soal utang, fiskal, dan keberlanjutan ekonomi bangsa. “Kita harus mulai bicara jujur dan transparan. Ini soal masa depan negara. Harus ada solusi yang menyeluruh dan realistis,” tutur Hardjuno.●

Exit mobile version