Ia ingin dikuburkan di bawah pohon rindang di Kebun Raya Bogor. Permintaan amat sederhana dari seorang mantan presiden, seorang yang pernah mengantarkan negeri ini keluar dari penjajahan panjang ratusan tahun. Tetapi nasib membawanya ke dalam gelap tak berujung. Di tengah kejatuhan dan pengasingan yang pedih, Minggu pukul 7 pagi, 21 Juni 1970, Pemimpin Besar Revolusi itu wafat.
Permintaannya tidak digubris oleh penguasa. Bumi Siliwangi terlalu suci untuk menerima mayat Soekarno, tegas HR Dharsono, Pangdam Siliwangi kala itu. Penguasa Orde Baru bergegas mengusung mayatnya ke Blitar, Jawa Timur. Ia dikubur di sebuah pemakaman umum di samping ibu kandungnya, tak ada khidmat, juga tanpa pidato selamat jalan dari kepala negara.
Sosok yang terkubur itu, yang pernah mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan, memang hendak dilupakan begitu saja. Hampir sepuluh tahun kuburnya terlarang dikunjungi warga Jakarta.
Media massa belum lagi sebebas dan secanggih hari ini. Waktu itu hanya surat kabar Merdeka yang berani mengulas panjang lebar jasa Soekarno. Tentu saja setelah melalui sensor dan interogasi panjang dari penguasa. Proses de-Seokarnois kala itu tengah berlangsung.
Lantaran itu, tak banyak orang tahu akhir yang tragis dari nasib seorang presiden dan proklamator Indonesia. Pelajaran sejarah kebangsaan di sekolah anak-anak kita hanya mengindroktrinasi PKI organisasi terlarang, kaum komunis anti Tuhan yang membunuh dengan sadis para jenderal.
Dan setiap tanggal 30 September televisi wajib memutar film Kejahatan G30S/ PKI, menyelipkan adegan yang mempertontonkan arogansi seorang Soekarno.
Lalu sejarah mulai berbalik, Soekarno jatuh dengan cara tidak terhormat. Ia dikudeta, diasingkan dari keluarganya tanpa status hukum yang jelas. Para anteknya diburu dan dihabisi tanpa proses pengadilan.
Ia memang bukan jenderal besar, seperti Soeharto yang di ujung kejatuhannya masih memelihara para pengikut yang loyal dan menyusup di kursi-kursi kekuasaan Orde Reformasi. Lantaran itu, di balik kejatuhannya, Soeharto sesungguhnya tetap saja seorang pemenang. Ia hanya bersembunyi di belakang pamflet besar bernama Reformasi. Di atas panggung itu adalah para pemain lama, loyalis Soeharto yang tetap mengatur politik pemerintahan, ekonomi juga informasi.
Di sepanjang Januari 2008, media cetak dan televisi seolah wajib mengekspose kondisi kritis jenderal besar. Prosesi penguburannya diiringi lagu ‘Gugur Bunga’ yang tak kunjung putus, dan sekuel film perjuangannya di masa pergolakan diputar berulang-ulang. Dan antek-anteknya pun menyiapkan usulan pemberian gelar untuk Soeharto sebagai pahlawan.
Sebagai seorang presiden berkuasa selama 32 tahun, tentu tak adil jika dikatakan ia tidak berbuat untuk rakyatnya. Ia berhasil menancapkan pembangunan di berbagai sektor kendati harus dibiayai dengan utang luar negeri, Ia mampu mengangkat pamor koperasi sebagai usaha ekonomi bergengsi kendati disuntik bantuan murah. Ia kontroversial seperti halnya Soekarno yang naasnya terlalu asyik bermanuver di kursi kekuasaan.
Orang boleh dan tidak setuju dengan keduanya, tetapi mereka telah menjadi bagian dari keniscayaan sejarah negeri ini yang tidak bisa dihapus. Selalu ada sisi baik dari setiap orang, kata Retnowati Abdulgani Knapp, maka terbitlah buku Soeharto, The Life and Legacy of Indonesia’s Second President.
Tentu saja kita menghargai sikap bijak itu, meski di sisi lain, kita juga memaklumi berbagai data keterlibatan Soekarno dalam G30S/ PKI, seperti diungkap Antonie C A Dake dalam bukunya, Sukarno File.
Pasca penayangan publikasi besar-besaran kematian Soeharto di berbagai media, apakah kita juga bisa melihat proses pengadilan terhadap pembantaian 3 juta jiwa tahun 1965-1971, penembak misterius, 30 ribu jiwa di Aceh 1980-1990, serta ribuan orang hilang yang hingga kini masih dicari oleh keluarganya. Atau memang falsafah itu masih tetap hidup, mikhul dhuwur mendem jero. Mungkin kita setuju dengan George Orwell ketika ia bergumam, sejarah ditulis oleh pemenang, history is written by the winner.