DALAM kasus biodiesel, benar Indonesia menang di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dari Uni Eropa (UE). Tapi itu tak berarti banyak. Sebab, kemenangan di WTO bukan suatu hal signifikan. Biasanya, Eropa tidak pernah berhenti. Mereka terus melakukan hambatan perdagangan. “Ini sudah terbukti dari dulu,” kata Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Joko Supriyono.
Masalah fundamentalnya adalah persaingan kepentingan, khususnya bisnis minyak nabati. Persaingan kepentingan tersebut bersifat abadi. Bersamaan dengan itu, dari aspek biodiesel, Eropa mempunyai kepentingan besar karena minyak rapeseed yang mereka miliki. Jika Eropa patuh pada putusan WTO tersebut, ini peluang baik (masuknya biodiesel kita ke Eropa). Kenyataannya, dalam perundingan CEPA Indonesia-EU, Eropa tetap enggan memberi kejelasan soal sawit.
Langkah jajak pendapat Parlemen Eropa (17/1) memang memenangkan suara menolak penggunaan biodiesel yang berasal dari minyak sawit mentah menjadi tambahan kampanye negatif bagi CPO. Menurut Gapki, bukan tidak mungkin jika tudingan negatif terhadap CPO untuk melindungi produk Eropa terkait bisnis minyak nabati. Eropa memiliki produksi besar dalam hal biji bunga matahari dan rapeseed, bahan baku biodiesel seperti halnya CPO.
Proposal yang mengatur larangan konsumsi sawit sebagai bahan pembuat biofuel disetujui 492 orang, 88 menolak, 107 orang lainnya menyatakan abstain.
Proses pengambilan suara pertama tersebut merupakan bagian dari prosedur legislatif biasa di Komisi Eropa. Langkah itu dilakukan untuk membentuk RUU yang akan diajukan ke Dewan Uni Eropa dan Parlemen Eropa. Setelah voting di tingkat parlemen, Komisi Eropa dan Dewan Eropa pada Februari 2018 akan membahas hasil jajak pendapat.
Tindakan Eropa yang potensial menghalangi masuknya biodiesel Indonesia termasuk ekspor Crude Palm Oil (CPO) amat kasat mata. Buktinya, Parlemen Eropa sudah bikin resolusi pelarangan biodiesel. Negara maju, tutur pengamat politik J. Kristiadi, menggunakan segala instrumen untuk menghambat sawit. Negara maju membuat akal-akalan dengan macam-macam skema sertifikasi. “Antar negara tidak ada pertemanan, yang ada persaingan,” ujarnya. Bentuk nyata tekanan tersebut adalah resolusi sawit yang diusulkan Parlemen Uni Eropa pada April 2017.
Resolusi sawit Uni Eropa adalah bukti bahwa antarnegara tidak ada saling membantu. Resolusi sawit Uni Eropa membuat rakyat Indonesia susah. Indonesia bisa kehilangan momentum untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati masyarakat dunia. DPR Indonesia telah minta kepada parlemen Uni Eropa untuk membatalkan resolusi tersebut.
Dalam kaitan ini, mau tak mau, Indonesia harus pintar-pintar memainkan diplomasi di dunia internasional. Sebab, negara lain juga memainkan perannya demi kepentingan dagang mereka. “Kita tidak harus mentolerir negara lain. Karena bangsa lain juga tidak toleransi. Yang ada perang kepentingan. Diplomasi iya, tapi berbaik hati nanti dulu kalau menyangkut perdagangan,” ujar Joko Supriyanto.
Posisi komoditas sawit sebagai primadona ekspor akan sangat sulit tergantikan. Pendapatan sektor perkebunan ini telah melebihi sektor minyak dan gas (migas) yang nilainya hanya Rp365 triliun. Fakta lapangan menunjukkan, dari 127 komoditas perkebunan, hanya 15 komoditas saja yang menghasilkan devisa.●