hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Agroekologi, Solusi Pertanian Masa Depan

Gerakan agroekologi sebenarnya sudah mulai muncul di Indonesia sejak awal 2000-an. Prinsip dasarnya adalah pola pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan. Hasilnya lebih baik dibanding pola pertanian konvensonal. Sayang kurang didukung akademisi dan pemerintah.

 

AGROEKOLOGI memiliki kemampuan menghasilkan produksi pertanian lebih tinggi dibanding pola pertanian konvensional. Bahkan bisa menjadi solusi pertanian pada masa mendatang. Namun, agroekologi masih belum mendapat perhatian dan dukungan, baik dari akademisi maupun pemerintah. Demikian dikatakan Kepala Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor (IPB), Suryo Wiyono.

“Sejumlah riset di lapangan membuktikan bahwa agroekologi mampu menjawab tantangan pertumbuhan penduduk,” kata Suryo dalam diskusi bertajuk Strategi Mengarustamakan Agroekologi yang digagas Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) di Bogor, Jawa Barat, Jumat (16/11). Prinsip dasar dari agroekologi, kata Suryo, adalah pola pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Pola ini, kata dia, tetap mengadopsi teknologi dalam pola budidaya. “Kami sudah melakukan uji coba di Cepu pada padi. Begitu juga di Klaten. Hasilnya ternyata luar biasa. Pola agroekologi bisa sampai 13 ton (per hektare),” ujar Suryo. Pendapat senada disampaikan Lily Batara dari KRKP. Hasil penelitian tesisnya menunjukkan, agroekologi mampu memproduksi lebih baik dibanding pertanian konvensional.

Pola pertanian konvensional merujuk pada penggunaan bahan-bahan kimiawi, seperti pestisida dan pupuk yang berpotensi merusak ekosistem lingkungan. “Tesis saya membuktikan itu. Penerapan agroekologi di Sumatera Barat menghasilkan produksi (padi) yang tinggi. Bisa 11 ton per hektare,” kata Lily. Dia tak lupa menginformasikan bahwa gerakan agroekologi ini sebenarnya sudah mulai muncul di Indonesia sejak awal 2000-an.

Kendala yang dihadapi, kata dia, kebijakan yang belum mendukung agar agroekologi dijadikan pilihan dalam budidaya. Adalah manusiawi jika untuk berubah atau keluar dari zina nyaman cenderung menimbulkan kegamangan. “Preferensi konsumen kita masih belum mendukung, di saming rantai tata niaga (produksi pertanian) konvensional yang masih sangat dominan menguasai pasar,” sebut Lily.

Sepanjang pemantauan Ketua Bidang Koleksi Bank Benih, Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI), Azwar Hadi Nasution, untuk mengarusutamakan agroekologi di Indonesia kita harus menemukan definisi yang jelas dan khas. Di dunia, kata dia, gerakan agroekologi ini didorong dan dilatarbelakangi oleh pemikiran yang berbeda-beda. Dalam hal ini, sangat dibutuhkan kontribusi pemikiran yang rrealistis dan aplikatif dari para akademisi.

Untuk membangun defenisi agroekologi di Indonesia, masih menurut Azwar, setidaknya ada enam prinsip agroekologi yang telah disusun oleh ilmuwan dari Berkeley University. Keenam prinsip itu di antaranya menjaga keberagaman sumber daya genetika, menghasilkan benih secara mandiri, menghargai kearifan dan pengetahuan lokal. “Di Indonesia jika kita bicara agroekologi, kita memang harus tentukan definisi dan prinsip menurut kita sendiri,” tutur Azwar Hadi Nasution.●(dd)

 

pasang iklan di sini