Berita tentang semakin maraknya fenomena PHK di industri startup digital dan bergugurannya pelaku usaha di sektor yang digadang-gadang bakal menjadi tulang punggung perekonomian masa depan itu membuat sebagian besar masyarakat bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi? Apa yang harus dilakukan agar bisnis startup digital dapat membangun resiliensi dan tumbuh berkelanjutan?
Pandemi COVID-19 telah mempercepat evolusi gaya hidup manusia menjadi semakin digital, semakin online. Makin sepinya pusat-pusat perbelanjaan, bergugurannya media-media cetak, menjamurnya moda transportasi online, beralihnya industri musik dan kreatif ke platform digital, maraknya kegiatan belajar dan bekerja secara online, merupakan sebagian fenomena yang bisa kita lihat dengan kasat mata.
Ketika kita sudah lebih nyaman berbelanja atau membeli makanan menggunakan platform online, ketika kita sudah lebih terbiasa melakukan meeting secara virtual, dan di sisi lain kita melihat perusahaan startup digital semakin bermunculan bak jamur di musim penghujan, dengan gaji karyawannya yang ‘wah’dan lingkungan kerja yang modern dan futuristik, tentu kita meyakini bahwa shifting dunia usaha dari bisnis konvensional ke bisnis digital memang sedang terjadi.
Tetapi, nyatanya, fenomena bisnis startup digital yang gulung tikar justru semakin santer. Tak tanggung-tanggung, perusahaan sekelas Tesla, Netflix dan Shoppee tak luput dari isu layoff karyawan. Bloomberg.com melaporkan Tesla harus merumahkan 200 karyawannya menyusul penutupan site perusahaan itu di California, AS. Sementara theguardian.com juga mengungkapkan Netflix telah merasionalisasi 300 karyawannya akibat turunnya jumlah subscriber layanan film online berbayar tersebut. Dan itu sudah merupakan layoff gelombang kedua bagi perusahaan tersebut.
Fenomena serupa juga sedang terjadi saat ini di Tanah Air. Perusahaan startup digital yang harus mengurangi jumlah karyawannya terus bertambah, sebagian bahkan ada yang sudah harus menutup kegiatan operasinya.
Daftar startup yang melakukan pengurangan karyawan terus bertambah, deretannya mulai dari TaniHub, Zenius, LinkAja, Pahamify, JD.ID, Mobile Premier League (MPL), hingga Lummo dan beres.id.
Boleh jadi tantangan terbesar yang harus dihadapi pelaku startup digital saat ini berkaitan dengan keberlanjutan bisnis.
Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate, pelaku startup digital perlu memperhatikan tiga aspek tata kelola agar perusahaan tidak mengalami masalah. Menurutnya, Pemerintah juga menyiapkan pendampingan agar ekosistem startup digital tetap tumbuh dan berkembang.
“Ketiga aspek itu yakni prinsip usaha atau product dan service, skema pembiayaan, dan manajemen. Jadi tiga aspek itu kalau tidak dikelola dengan baik, maka perusahaan akan mengalami masalah,” ujarnya melalui keterangan persnya.
Menurut Menteri Johnny, penerapan prinsip usaha merupakan kunci keberlanjutan usaha di semua sektor. “Kalau soal PHK itu terjadi di semua jenis usaha yang tidak dipersiapkan dengan baik, apakah itu startup digital atau startup nondigital, sama saja. Karena apa? Prinsip-prinsip usaha, kan harus menyiapkan product maupun service-nya dengan betul, punya skema pembiayaan yang memadai apakah itu ekuitas atau kombinasi dan debt person-nya (hutang), serta para sponsor (founders) dengan manajemen,”jelasnya.
Banyak yang menyebut badai yang sedang terjadi pada industri digital ini sebagai bubble burst (gelembung startup).
Menurut Johnny, ketika perusahaan mengalami masalah, penyelesaian pertama yang paling mudah dilakukan dengan layoff atau pengurangan karyawan.
“Padahal, prinsip karyawan itu ya bukan aset lagi melainkan capital untuk suatu usaha. Makanya isu layoff ini begitu sensitif di saat sekarang. Apalagi isu layoff dikaitkan dengan startup bubble, “ tuturnya.
Puncak Gunung Es
Ekonom dari Universitas Pasundan Acuviarta Kartabi mengungkapkan dari sisi makro saat ini memang sedang terjadi perlambatan ekonomi akibat kenaikan harga komoditas yang memicu inflasi.
“Konsekuensinya, tingkat suku bunga belakangan terus tertekan hingga menyebabkan seretnya likuiditas,”ujarnya.
Pada akhirnya, kondisi itu juga berdampak pada aliran dana investor yang tidak lagi mengucur deras ke sektor startup digital. Kenaikan suku bunga itu juga menjadikan tingkat risiko untuk berinvestasi, termasuk ke sektor startup digital meningkat.
Di sisi lain, lanjutnya, setelah masa pandemi, pola hidup sebagian masyarakat juga kembali ke masa sebelum pandemi, sehingga mobilitas masyarakat praktis sudah semakin meningkat. Kondisi tersebut secara tidak langsung berdampak pula pada sebagian pelaku usaha startup digital.
Apa kata pelaku usaha? Menurut praktisi startup digital Abul A’la Almaujudy, maraknya layoff di bisnis startup digital sebetulnya merupakan puncak gunung es dari problem besar yang tengah dihadapi perekonomian global saat ini.
Eks COO aplikasi pergiumroh.com itu mengungkapkan dampak pandemi COVID-19 ditambah dengan efek perang Rusia-Ukraina telah memukul hampir seluruh sektor usaha. Harga pangan dan energi melonjak, harga komoditas pun terus naik. Alhasil, negara dan dunia usaha yang belum pulih dari hantaman pandemi harus langsung menghadapi pukulan lain, yaitu dampak perang.
”Saya kira pesannya jelas, semua sektor dituntut untuk meningkatkan efisiensi,”ujarnya.
Secara spesifik, menurut dia downsizing di bisnis startup digital menjadi keputusan yang harus diambil sebagian pelaku usaha sebagai upaya dari penyesuaian target pertumbuhan bisnis yang tidak tercapai.
Namun demikian, Acuviarta optimistis bisnis startup digital masih akan tetap menjanjikan ke depannya. Yang diperlukan adalah koreksi model bisnis dan inovasi secara lebih intens untuk dapat memenuhi kebutuhan pasar sehingga dapat semakin menjangkau kebutuhan riil masyarakat.
Begitulah, shifting ke ekonomi digital tampaknya memang masih terus bergulir. Tinggal adu cerdas, siapa yang lebih inovatif dan kreatif. Namanya juga hukum alam, yang unggul akan jadi pemenang dan yang kalah harus siap-siap terpental. (td)