JAKARTA—Ketua Asosiasi Fintech Indonesia (AFI) Niki Luhur mengungkapkan, selama dua tahun terakhir ini terdapat 235 perusahaan industri teknologi keuangan (fintech) yang beroperasi di Indonesia dengan total transaksi mencapai USD 21 juta, setara dengan Rp302,4 miliar.
“Kami memprediksi angka ini terus bertambah seiring dengan banyaknya penduduk Indonesia,” kata Niki dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (31/7/2018).
Perkembangan fintech juga diamati dengan seksama oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang punya “tugas” mengembangkan ekosistem industri fintech di Indonesia. Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida menyatakan, pihaknya merencanakan meluncurkan FinTech Center bulan depan.
“Masyarakat bisa menyumbangkan ide dan berdiskusi berkaitan dengan fintech. Selain itu FicTech Center ini akan menjadi pusat informasi agar tidak mudah tertipu fintech abal-abal,” kata Nurhaida.
OJK bersama Asosiasi Fintech Indonesia bekerja sama merumuskan kode etik sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan di fintech, khususnya untuk sektor peer to peer lending.
Kode etik itu akan mengatur tentang transparansi, tata kelola perusahaan, sampai kepada perlindungan konsumen. Kode etik sebetulnya sudah diajukan draftnya sejak April, namun hingga kini belum selesai disahkan.
“Hingga saat ini terdapat 227 entitas pinjam meminjam uang berbasis teknologi (fintech peer-to-peer lending) yang tidak resmi di Indonesia,” ujar Nurhaida lagi.
Daftar tersebut didapatkan dari hasil screening satuan tugas waspada investasi terhadap perusahaan fintech yang tak terdaftar. Perusahaan-perusahaan itu melanggar Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016, yang menyebutkan kewajiban bagi penyelenggara peer-to-peer lending untuk mendaftar ke OJK (van).