
The Indonesia’s Most Dangerous Man? Judul angker itu muncul di sebuah majalah terbitan Hongkong, Far Eastern Economic Review, Minggu pertama Desember 1998. Tudingan itu untuk Adi Sasono, aktivis pergerakan ekonomi rakyat, tokoh sentral lembaga swadaya masyarakat.
Di tahun itu, Indonesia baru saja keluar dari kemelut politik berdarah akibat bentrok para mahasiswa dengan aparat penguasa. Negara nyaris runtuh akibat akumulasi krisis yang tiba serentak, krisis ekonomi, krisis kepemimpinan dan sentimen rasial. Situasi berhasil dipulihkan setelah Presiden Soeharto, dengan legowo lengser dari kursi kekuasaan yang digenggam selama 32 tahun. Reformasi dimulai, pemerintahan berganti, dan Adi Sasono ikut serta dalam jajaran penguasa baru itu. Ia ditunjuk jadi Menteri Koperasi UKM dan dengan caranya sendiri menumbuhkan kembali citra koperasi yang terpuruk akibat intervensi kelewat maruk di era Orde Baru.
Sebagai tokoh pergerakan, Mas Adi —begitu sapaan akrabnya—, tetap konsisten mengusung derajat ekonomi rakyat. Ia batasi bisnis para oligarki yang sebelumnya sudah hidup kenyang dengan berbagai fasilitas di era predatory state. Bagaimana mungkin ada satu orang konglomerat yang bisa menguasai Hak Pengelolaan Hutan (HPH) seluas 3,6 juta hektar, sementara seorang suku dayak di gelandang ke kantor polisi dengan tuduhan mencuri kayu di hutan milik nenek moyangnya sendiri. Adi bertekad, kepincangan seperti itu tidak boleh terjadi lagi, lalu lahirlah program redistribusi aset; pemberian hak pengelolaan aset, terutama tanah, dari negara kepada rakyat, khususnya petani yang tak punya lahan garapan.
Tetapi, istilah itu dianggap abstrak, secara sepihak ditafsirkan sebagai perampasan aset para konglomerat hitam untuk dibagi-bagikan kepada rakyat. Maka bisa dimaklumi jika Adi Sasono kemudian dianggap menjadi manusia paling berbahaya di Indonesia lantaran menggunting dapur para oligarki. Majalah Economist, Inggris, menjulukinya Robin Hood van Java.
Pergumulannya yang panjang di lapis akar rumput membuat Adi Sasono punya concern pada perbaikan perekonomian rakyat. Ia menggelontorkan dana puluhan triliun ke pedesaan, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Di Zamannya pula dua koperasi pedalaman di Kalimantan Timur, untuk pertama kali mendapatkan HPH.
Aksi heroik Adi Sasono mengundang decak kagum semua kawan maupun lawannya. Dawam Rahardjo sempat menilainya sebagai figur presiden ideal untuk Indonesia. Sayangnya, ia bukan pemain politik praktis yang andal dan mudah ditelikung lawan. Jabatannya sebagai Menteri Koperasi berakhir singkat, hanya 18 bulan, dan ia kembali kehabitatnya, penggerak ekonomi rakyat yang selalu hadir di tengah massa grassroots, mengembangkan dialektika, bak Socrates di Athena yang kerap menghujani anak-anak muda dengan banyak pertanyaan. Mas Adi gandrung pada pencarian figur kepemimpinan yang idealnya harus lahir dari produktivitas, bukan dari proses karbitan apalagi titipan penguasa. Parameter calon pemimpin yang sehat menurutnya adalah generasi muda di bawah usia 30 tahun.
Seandainya Mas Adi masih hidup, pastinya ia akan ada di garda depan pertanyaan kemana larinya kekayaan negara dari hasil barang tambang, nikel, barubara, emas dan kelapa sawit. Apa yang terjadi dengan pembabatan hutan ugal-ugalan sehingga Forest Declaration Assessment mencatat hutan Indonesia rusak seluas 1,18 juta hektar pada 2023, kedua paling luas, setelah Brasil dengan angka 1,94 juta hektar.
Sabtu, 13 Agustus 2016 jelang senja ia wafat dalam usia 73 tahun, namun masih sempat berbisik lirih agar kami melanjutkan perjuanganya menjaga gengsi perekonomian rakyat. Kami antarkan sang pejuang yang disegani banyak kawan dan lawan itu hingga ke peristirahatan terakhirnya, Tanah Kusir, berbaring abadi di samping pagar halaman makam Bung Hatta, Bapak Koperasi yang jadi panutannya.[]







