hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Ragam  

75 Tahun Gerakan Koperasi Masih Sarat Intervensi

Tantangan koperasi yang paling besar justru dari oknum yang menggunakan koperasi untuk kepentingan bisnis hingga pejabat yang berkoperasi melakukan manuver politik untuk mencari simpati masyarakat, yang bertentangan dengan nilai dan prinsip koperasi. 

Tonggak perkoperasian di Indonesia ditandai dengan lahirnya kesepakatan mendirikan Sentral Organisasi Koperasi Republik Indonesia (SOKRI) pada 12 Juli 1947 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Tanggal tersebut bahkan hingga kini diperingati sebagai hari lahirnya Gerakan koperasi di Indonesia. Secara historis, entitas koperasi sebagai badan usaha sudah sejak lama eksis, diawal pergerakan kebangsaan. Sebut saja koperasi yang digagas oleh Boedi Oetomo, Tjokroaminoto, Hatta, bahkan Soekarno. Mereka para tokoh sejarah bangsa itu, menilai koperasi, sebagaimana halnya yang tumbuh di Eropa, merupakan lembaga yang tepat untuk membantu petani lepas dari jeratan ijon dan lintah darat.

Namun demikian, menurut pemerhati perkoperasian Dewi Tenty Septi Artiany, akar historis kelahiran koperasi di Indonesia berbeda dengan rintisan pertama gerakan koperasi dunia, di Rochdale, Inggris pada 1844. Gerakan yang dikenal dengan Rochdale Society ini adalah gerakan modern, ide praktis mengelola toko menggunakan prinsip berkoperasi, menyediakan barang konsumsi hasil usaha bersama dan kebutuhan bersama.

Oleh Bung Hatta, gagasan koperasi modern dari Eropa itu dibawa ke Indonesia. Bung Hatta menyematkan kegotongroyongan untuk tujuan kebersamaan yang memang cocok dengan kultur masyarakat Indonesia. Dengan modal kelimpiahan sumber daya manusia yang banyak di Indonesia dan sumber daya alam jika dikelola koperasi harusnya lebih besar daya dorongnya.

Sayangnya, perkembangan koperasi di Indonesia tidak secemerlang negara-negara Eropa. Secara kuantitatif memang bisa dibanggakan, namun kontribusinya terhadap Gross Domestic Product (GDP) kecil, sekitar lima persen. Sementara negara yang maju koperasinya setidaknya sekira 10 persen.

Persoalan lain dari 5 persen kontribusinya banyak dari koperasi simpan pinjam. Di Inggris saja yang dominan adalah koperasi pertokoan, perdagangan, pertanian. Capaian kontribusi GDP dan sektor riil ini harusnya dinaikan.

“Entah mengapa berbelok kontribusi terbesar dari Koperasi Simpan Pinjam. Kita melihat sekarang spirit berbeda Indonesia bergerak dari agraris ke jasa menimbulkan pola instan untuk bergerak di bidang jasa keuangan,” ujar perempuan yang akrab dipanggil Teh Dete ini saat berbicang dengan Majalah Peluang.

Notaris yang meraih gelar Doktor Hukum dari Universitas Padjadjaran ini menyorot perjalanan sejarah menunjukkan peran negara dalam gerakan koperasi sangat kental. Pada masa Orde Baru saja peran pemerintah sangat top down. Koperasi Unit Desa (KUD) tumbuh di mana-mana berdasarkan kebijakan pemerintah.

Kini, kebijakan pasca Orde Baru adalah bagaimana mengatur tata kelola koperasi. Sayangnya, regulasinya terlalu banyak. Pernah suatu ketika ada sekitar 36 Kepmen atau Permen terkait koperasi.

“Sampai saya sempat meledek Kemenkop UKM itu kementerian atau OJK yang bertindak sebagai operator buat regulasi terus, hingga akhirnya dipangkas tinggal setengahnya. Itu pun juga terlalu banyak dibandingkan dengan Jepang yang hanya punya satu saja UU yang mengatur koperasi pertanian, namun bisnis koperasi di negara matahari terbit itu menggurita,” ungkap Dete. 

Kebijakan Belum Memihak

Setelah 75 tahun lahirnya gerakan koperasi tantangan besar apa yang kini masih dihadapi. Secara lugas Dete menjawab masih kentalnya kebijakan yang tidak memihak. Bisnis koperasi masih dianggap kelas recehan, nomenklaturnya pun disejajarkan dengan UMKM alih-alih usaha besar. Hal lainnya yang diamati Dete adalah seringnya koperasi disorong jadi alat kepentingan politik. Ketika tiba musim pemilihan kepala daerah ataupun manuver politik untuk mencari simpati masyarakat, para kontestan acapkali umbar janji akan memajukan koperasi sebagai wahana jitu menyejahterakan ekonomi rakyat. Namun, setelah jabatan diraih, nasib koperasi kembali seperti sediakala, terpojok di pinggiran.

 “Capek juga ya koperasi terus menerus dijadikan kendaraan, dan masyarakat nampaknya juga sudah tahu bahwa para pemimpin karbitan itu hanya PHP alias (Pemberi Harapan Palsu), dan akhirnya mendegradasikan nilai dari koperasi itu sendiri,” cetus Dete lagi.

Olehnya, lanjut dia, keikutsertaan negara sejatinya bukan hanya prinsip dan spirit tetapi bagaimana membentuk koperasi sebagai entitas bisnis yang berbeda dengan perusahaan. Jadi, ada kewajiban negara melakukan pengawasan dan pembinaan dan hal itu yang tidak ada pada Yayasan dan PT.

Sebagai notaris pembuat akte koperasi, Dete melihat legalitas perkoperasian mengalami banyak perubahan, menjadi suatu hal baik. Mengapa? Di negara lain pun pemerintah melihat koperasi sama saja dengan korporasi. Di Indonesia terlalu eksklusif, campur tangan pemerintah kental. Tapi masuknya koperasi secara legalitas ke Kemenkumham mempermudah koperasi masuk ke rumah bersama, yaitu rumah badan hukum melalui Kumham.

“Prinsipnya, kebijakan seperti itu akan lebih praktis dan lebih mudah menciptakan karakter koperasi yang mandiri. Hanya saja yang patut dicatat adalah bahwa koperasi berbeda dengan badan hukum lain. Harus ada pembinaan dan pengawasan khusus. menambahkan, sekalipun tidak fair karena lahirnya di Kemkumham tetapi kontrolnya di Kemenkop. Itu pekerjaan buat dua kementerian membuat sesuai yang harmonis dan selaras sehingga tidak membuat masyarakat bingung.

Seiring perkembangan teknologi digital, Dete mengingatkan agar pelaku koperasi senantiasa mengikuti perkembangan teknologi, terlebih dengan kini kian masifnya era financial technology (fintech). Kini semuanya serba digital, dan kalau tidak digital tidak modern.

Ini berimbas pada koperasi. Koperasi digital sama dengan fintech. Ini rumus dibuat oknum sehingga membuat masyarakat misleading. Padahal fintech pengawasannya pada OJK Sementara pengawasan koperasi oleh anggotanya.

Anda tau istilah ‘koperasi cangkang’? Ini adalah bentuknya saja yang koperasi tapi isinya adalah para pemodal yang melempar dananya ke masyarakat dan tentu saja dengan suku bunga mencekik. Mengapa para pemodal itu menggunakan atau mencatut nama koperasi? karena peizinannya mudah dan sanksinya juga cuma sekadar administratif.

Dete menyarankan agar pemerintah dan juga pelaku koperasi, perkuat lagi prinsip-prinsip dan tata kelola koperasi, supaya notaris bisa jadi filter di masyarakat. Dan sebaliknya agar masyarakat mau melaksanakan koperasi sesuai tata kelola bukan jadi alat yang kurang pas dengan modus koperasi. (Irsyad Muchtar)

pasang iklan di sini