JAKARTA-—Hingga pertengahan September 2019, sebanyak 11 film Indonesia meraup penonton di atas satu juta. Puncak tertinggi masih diduduki “Dilan 1991” dengan capaian 5.253.411 penonton, disusul “Dua Garis Biru” dengan jumlah penonton 2.538.473 orang dan pada posisi ketiga “My Stupid Bos 2” dengan 1.876.052 penonton.
Dua film kolosal dengan budget besar “Bumi Manusia” dan “Gundala: Negeri Ini Butuh Patriot” yang tayang pada triwulan ketiga ini di antara yang melenggang ke sepuluh besar box office Indonesia dengan masing-masing raihan 1.313.178 dan 1.623.629 penonton dan berada di urutan ke 7 dan 6.
Data yang diungkap situs filmindonesia hanya menempatkan dua film horor dalam sepuluh besar, yaitu “Kuntilanak 2” (1.726.570 penonton) dan “Ghost Writer” di urutan ke 10 dengan 1.116.676 penonton.
Beberapa film yang baru dirilis Oktober hingga Desember mendatang mempunyai potensi meraup penonton di atas satu juta, ialah film horor “Danur 3: Sunyaruri” rilis 26 September ,film horor “Perempuan Tanah Jahanam” dari Joko Anwar, film drama komedi adaptasi dari film Korea “Sunni” bertajuk “Bebas” kedua tayang di bioskop pada Oktober, hingga “Habibie dan Ainun 3” yang diprediksi rilis Desember mendatang.
Lainnya ialah “Susi Love For All” yang juga rilis Oktober 2019 mempunyai peluang yang sama.
Kalau jumlah film Indonesia yang meraup penonton di atas satu juta penonton 14 film, maka capaian itu akan sama dengan 2018. Pada tahun itu puncak film Indonesia diduduki “Dilan 1990” dengan 6,3 juta penonton. Bukan tidak mungkin film Indonesia yang mendapat satu juta penonton lebih dari 14.
Pada 2018 prediksi Badan Ekonomi Kreatif Indonesia bahwa jumlah penonton Indonesia di atas 50 juta penonton, lebih baik dibanding 2017 sebanyak 42,5 juta penonton terpenuhi. Melihat hasil hingga September 2019 memberikan indikasi sebangun dengan 2018 maka jumlah penonton film Indonesia di atas 50 juta.
Dalam sebuah wawancara dengan Chand Parwez dari Star Vision yang berharap penonton film Indonesia dapat menembus 60 juta patut ditunggu.
Pembangunan SDM Film
Produser Mira Lesmana mengakui bahwa film Indonesia kini lebih beragam genrenya. Jumlah bioskop cukup memadai. Bgeitu juga sambutan penonton lebih baik. Begitu juga investor film juga lebih baik dibandingkan kondisi pada 1990-an, ketika film Indonesia “mati suri”. Kemudian pelan-pelan pulih sejak 2000.
“Persoalan yang kini harus dihadapi para stakeholder film adalah membangun SDM film Indonesia, di antaranya penulisan skenario hingga sekolah-sekolah film,” ujar Mira menjawab pertanyaan Peluang dalam jumpa pers, Rabu (18/9/19).
Dia mencontohkan Korea Selatan yang berhasil membangun industri filmnya dengan membangun sekolah-sekolah film yang tersebar di seluruh negeri ginseng itu. Itu sebabnya film Korea maju dan sejumlah film diadaptasi. Padahal Korea Selatan juga pernah menghadapi kondisi yang sama seperti Indonesia. Dunia perfilmannya mati suri.
“Sunny itu yang kami adaptasi menjadi film Bebas adalah di antaranya produk sineas dengan SDM yang baik,” ungkap Mira.
Sebagai catatan Korea Selatan memiliki 300 sekolah film formal dan nonformal. Anggaran perfilman Korea Selatan mencapai Rp3,18 triliun per tahun. Namun Industri perfilman Korea Selatan dapat menyumbang US$6,6 miliar ke PDB karena didukung penuh oleh pemerintah yang proaktif mengembangkan berbagai kebijakan, seperti modal dan penelitian untuk industri film (van).