Pada tahun pertama kekuasaanya, Presiden Soeharto harus menyelesaikan masalah yang ditinggalkan presiden sebelumnya, Sukarno. Masalah krusial yang dihadapi pemerintahan Soeharto adalah hiperinflasi (mencapai 650 persen) yang menyebabkan melonjaknya harga barang-barang, termasuk kebutuhan pokok. Faktor utama penyebab hiperinflasi adalah rezim Sukarno hanya mencetak uang untuk membayar utang dan mendanai proyek-proyek mercusuar sejak awal 1960-an.
Soeharto membentuk Tim Ahli di Bidang Ekonomi dan Keuangan dengan tulang punggung ekonom dari Universitas Indonesia yang dipimpin Widjojo Nitisastro. Kelompok tersebut dikenal dengan nama “Mafia Barkeley” identik dengan kebijakan-kebijakannya yang berlandaskan liberalisasi ekonomi serta pasar bebas. Salah satu kebijakan tim ini ialah mencari bantuan kredit luar negeri.
Sebagai solusinya, Soeharto kemudian mengirimkan delegasi ke berbagai negara kreditor guna membahas moratorium utang luar negeri. Yang dituju: London dan Paris Club—kelompok informal kreditur di pentas internasional. Hasil pertemuan dengan Paris Club membentuk konsorsium bernama IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) yang beranggotakan Australia, Belgia, Jerman, Itali, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika, Austria, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Bank Dunia, IMF, Bank Pembangunan Asia (ADB), UNDP, serta OECD. Tujuan pembentukan konsorsium ini untuk memberikan pinjaman ke Indonesia. (Irvan Sjafari)