Apa jadinya jika proklamasi kemerdekaan Indonesia tanpa Sukarno dan Hatta? Tentu agak sulit dibayangkan kendati di masa itu cukup banyak tokoh pergerakan kemerdekaan yang mumpuni, sebut saja misalnya Sutan Sjahrir yang sosialis demokrat atau Tan Malaka yang revolusioner komunis.
Memang hanya sekadar berandai-andai, tetapi menyoret nama Bung Karno dan Hatta dalam scrimmage kemerdekaan Indonesia hanyalah sikap emosional, a historis. Proklamasi tanpa kedua tokoh dwi tunggal itu, seperti dikatakan Sjahrir saat menenangkan amuk kaum muda yang menuntut Indonesia merdeka secepatnya, akan mengakibatkan revolusi berhadapan dengan rakyat sendiri, dan hal itu tidak boleh terjadi.
Tetapi kaum muda, para pelajar dan mahasiswa yang dipimpin Sukarni, Adam Malik dan Chairul Saleh, tak peduli dengan nama besar Bung Karno yang pleidoinya ‘Indonesia Menggugat’ menggegerkan pengadilan Belanda di tahun 1930. Sementara bagi Sjahrir, kehadiran Bung Karno yang orasinya selalu menggetarkan massa adalah sebuah keniscayaan sejarah yang sulit dicari bandingnya. Herbert Feith dalam bukunya The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962), menyebut Bung Karno sosok pemimpin yang piawai menggalang massa (solidarity maker). Di sisi lain, Hatta tipologi pemimpin yang tertib menata pemerintahan (administrator).
Berbagai upaya dilakukan oleh para tokoh penggerak kemerdekaan, Bung Karno dan Hatta memilih bekerjasama dengan rezim fasis Jepang. Sementara sejumlah tokoh lainnya, seperti Sjahrir, Amir Syarifoeddin dan Tan Malaka bergerak di jalur klandestin (bawah tanah). Dua jalur perjuangan itu memang saling bersebrangan, namun keduanya punya titik temu, sama-sama ingin mewujudkan Indonesia yang bebas dari penjajahan asing.
Titik temu itu memanas ketika pada 15 Agustus malam terjadi percekcokan hebat di antara para tokoh pergerakan kemerdekaan. Bung Karno dan Hatta mendapat ultimatum dari kaum muda, pelajar dan mahasiswa yang mendesak segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, malam itu juga melalui corong radio. Pasalnya, Jepang sudah menyerah pada Sekutu, 14 Agustus 1945.
Bung Karno, yang oleh Sjahrir dituding kolaborator Jepang menampik tuntutan itu. Selain tidak yakin Jepang sudah kalah ia juga tidak ingin mendahului informasi resmi, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sebuah panitia ad hoc bikinan Jepang.
Dan waktunya ditetapkan pada esok hari, Kamis 16 Agustus 1945. Tetapi para pemuda menolak sebuah kemerdekaan yang hanya merupakan hadiah dari penjajah, mereka ingin merebut kemerdekaan dengan cara revolusioner.
Di ujung kesabaran yang kian habis itulah pemuda menculik Bung Karno dan Hatta ke Rengasdengklok. Dipaksa untuk mengumumkan kemerdekaan Indonesia, dan lagi-lagi Bung Karno bergeming.
Dalam catatannya, Sekitar Proklamasi, Bung Hatta menulis penculikan dirinya bersama Bung Karno, Fatmawati dan Guntur yang baru usia 9 bulan, membuat rencana proklamasi pada 16 Agustus tertunda. Menjelang sore, mereka di bawa kembali ke Jakarta setelah seharian dibiarkan tanpa pemeriksaan apapun, jauh dari judul yang disebut penculikan.
Celakanya, Jepang tidak bisa menepati janjinya untuk menghadiahkan kemerdekaan yang dinanti-nati itu. Pada tanggal 16 Agustus jelang tengah hari, Indonesia dinyatakan status quo, Jepang tidak punya kekuasaan apa-apa lagi, hanya sekadar ‘anjing penjaga’ menunggu Sekutu tiba di Indonesia. Dalam bukunya, Nationalism and Revolution In Indonesia, George McTurnan Kahin menyindir, jelaslah bagi Hatta dan Sukarno bahwa revolusi damai mustahil terjadi, dan bahwa cara-cara proklamasi kemerdekaan yang disarankan Sjahrir maupun pemimpin gerakan bawah tanah lainnya merupakan satu-satunya cara untuk mencapai kemerdekaan. (Irsyad Muchtar)