
PeluangNews, Jakarta – Purbaya Yudhi Sadewa setelah menjabat Menteri Keuangan selalu menjadi perhatian masyarakat.
Hampir setiap kebijakannya mendapat banyak dukungan publik khususnya di media sosial.
Misalnya, kebijakan Purbaya yang membebaskan pajak penghasilan bagi pekerja berpenghasilan di bawah Rp 10 juta. Soal penarikan uang Rp200 triliun di Bank Indonesia untuk menjaga likuiditas dan menggerakkan sektor riil, terakhir akan menarik dana MBG yang tidak terserap secara maksimal.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut B Pandjaitan meminta Purbaya tidak menarik dana MBG bila tidak terserap maksimal.
Namun, Purbaya kekeuh. Dia tetap akan menarik dana yang tak terserap maksimal itu.
Purbaya mengaku, dirinya tidak takut dengan siapapun, karena dekat dengan banyak para pengambil keputusan dari beberapa rezim.
Dia mengaku sudah pernah membantu maupun menjadi bawahan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden ke-7 Joko Widodo, Menko Perekonomian 2009—2014 Hatta Rajasa, Menko Perekonomian 2014 Chairul Tanjung, hingga Menko Marves 2016—2024 Luhut Binsar Pandjaitan.
“Jadi, saya sudah biasa bergaul dengan top-top thinker-nya di Indonesia. Saya enggak pernah takut sama siapa saja jadinya. Saya udah selalu terekspos dengan cara berpikir mereka, cara mereka mengambil keputusan,” kara Purbaya menandaskan, dalam forum Investor Daily Summit 2025, Jakarta, dikutip Minggu (12/10/2025).
Dia lantas memuji Presiden Prabowo Subianto yang dinilainya terampil dalam mengambil keputusan.
Karena itu, Purbaya merasa kagum dengan cara Kepala Negara itu memilihnya menjadi menteri keuangan.
Dia mengaku sempat ‘menakut-nakuti’ Prabowo akan terjadi pergantian kekuasaan apabila arah kebijakan ekonomi tidak segera diubah.
Dia juga mengaku sempat dipanggil Prabowo bersama sekitar empat orang lain ke Hambalang, Bogor, Jumat (5/9/2025). Saat itu, Prabowo memberikan pemaparan dan besoknya pun Sabtu (6/9/2025), Presiden kembali memberikan pemaparan.
Namun, aturan Purbaya hanya diam tanpa menanggapi. Pada hari ketiga, Minggu (7/9/2025), Purbaya dan empat orang lainnya kembali berkumpul di Hambalang. Kala itu, dia tidak mau diam lagi.
“Kalau hari Minggu, waktu itu saya enggak ngomong, ya sudah lah, enggak ada kans untuk bicara lagi. Waktu ketemu, rapatnya berlima. Begini, begini, begini, saya bilang tadi, saya takut-takuti, ‘Februari Pak bakal pergantian kekuasaan,’ ‘Oh gitu ya?’ Nah itu, recipe to my success, kita takut-takutin dia,” kata Purbaya.
Dia memberikan data-data ekonomi dari Presiden ke-2 Suharto hingga Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi).
Dari waktu ke waktu, tambahnya, selalu ada masa ekspansi ekonomi sekitar tujuh tahun dan masa resesi atau penurunan ekonomi sekitar satu tahun.
Jika otoritas salah mengambil keputusan pada saat masa penurunan atau krisis ekonomi, maka bisa terjadi pergantian kekuasaan.
Dia menilai itu yang terjadi waktu kejatuhan Presiden ke-2 Suharto dan Presiden ke-4 Abdurahman Wahid alias Gus Dur.
Mantan ketua dewan komisioner Lembaga Penjamin Simpanan itu mengklaim masa penurunan ekonomi Era Presiden ke-6 SBY pada 2008—2009 dan Era Presiden ke-7 Jokowi pada 2016 bisa menghindari pergantian kekuasaan akibat dirinya memberi masukan ke pemerintahan saat itu.
“Ekonomi jatuh, dia jatuh. Untung ada saya,” kata Purbaya
Dia menjelaskan bahwa ekonomi akan ‘kering’ apabila pertumbuhan uang primer (M0) rendah.
Oleh sebab itu, Purbaya selalu menganjurkan agar kebijakan moneter dan fiskal selalu mendukung likuiditas. Masalahnya, sambungnya, pertumbuhan uang primer mendekati 0% pada pertengahan 2025.
Dia pun tidak heran apabila sempat terjadi demonstrasi besar-besaran di sejumlah kota besar di Indonesia pada akhir Agustus lalu.
“Kalau kita tidak berubah arah kebijakan ekonomi pada waktu itu, kita akan terus mengalami demo dari minggu ke minggu. Semakin lama, semakin parah, dan penghitungan saya sebagai ekonom dan setengah dukun, Februari tahun depan akan menjadi pergantian kekuasaan yang cost-nya buat masyarakat kita mahal. Nah, itu dari Presiden Prabowo, makanya saya dimasukin, ‘Ya udah lo betulin’,” tutur dia. []