octa vaganza

10 Maret 1950 Gunting  Syafruddin

Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara mengeluarkan keputusan uang merah (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua.  Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula. Sementara guntingan kanan ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar tiga puluh tahun kemudian dengan bunga tiga persen setahun.

Kebijakan ini berlaku sejak 10 Maret sampai 9 Agustus  1950. Tujuannya, menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp 5,1 miliar. Dengan kebijakan ini, jumlah uang yang beredar bisa berkurang. 

Saat itu di Indonesia terdapat tiga jenis mata uang beredar, yakni Oeang Republik Indonesia (ORI), mata uang peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda dikeluarkan oleh De Javasche Bank, serta mata uang yang digunakan ketika NICA (Belanda) berada di Indonesia pasca-kemerdekaan atau selama masa revolusi fisik.  Regulasi gunting uang tidak berlaku  untuk ORI agar tidak terjadi  kebingungan di kalangan masyarakat menengah ke bawah.

Pada Maret 1950 itu juga Sjafruddin  mengeluarkan kebijakan Sertifikat Devisa (SD). Gagasan ini bermaksud mendorong ekspor sekaligus menekan impor luar negeri. Intinya  selain mendapatkan uang sebanyak harga barangnya, setiap eksportir juga memperoleh SD sebesar 50% dari harga ekspornya. Sebaliknya, orang yang hendak impor harus membeli SD senilai harga barang yang hendak diimpor. Jadi, selain menyediakan uang senilai harga barang yang akan dibeli, setiap importir harus membeli SD dengan kurs yang ditetapkan pemerintah.Sebagai permulaan, pemerintah menetapkan kursnya 200 persen

Dua kebijakan radikal ini memberatkan importir dan menguntungkan petani yang menghasilkan komoditas untuk barang ekspor. Hasilnya? Kedudukan rupiah menjadi kokoh, harga barang terutama kebutuhan pokok tidak naik, dan pemasukan pemerintah naik berlipat-lipat, dari Rp1,871 miliar menjadi Rp6,990 miliar.

Exit mobile version